Pisang Karamel dan Konsep Diri (catatan dari rumah belajar part.1)
suasana rumah belajar saat anak-anak menulis biografi mereka |
Setiap kamis, saya dan
Wigit menawarkan tenaga untuk mengisi acara di Rumah Belajar. Selama ini
kegiatan di rumah tersebut diisi oleh teman-teman dari Fakultas Pendidikan yang
juga dikirim ke desa Miau Baru ini. Awalnya, kami pikir akan menyenangkan bisa mengajar
mereka hal-hal baru sambil bermain. Sekaligus perkenalan untuk bisa menjalankan
program nekad kami, yaitu Pengenalan Kewirausahaan Sejak Dini.
Salah satu sub-program kami adalah praktek pengolahan
makanan dari sumber daya yang tersedia di sekitar kampung. Maka kami akan
mengajari mereka membuat pisang caramel. Bahan-bahan yang dibutuhkan sudah disiapkan
sedari pagi. Dengan asumsi bahwa kami bisa memberdayakan semua anak dalam
proses pembuatan.
Sekitar jam 14.00 WITA kami sudah siap sedia di Rumah Belajar
masih asyik bersendau gurau membicarakan kondisi rumah tempat teman-teman kami
di tempat lain. Namun, saat anak-anak berbondong-bondong datang kami mulai
kebingungan. Kenapa? Pertama, kami baru sadar bahwa kami tidak terbiasa
mengajar atau melakukan permainan anak-anak. Kedua, usia anak-anak itu tidak
homogen, dari kelas 1 SMP sampai TK besar. Kami mulai kelabakan saat mereka
bertanya apa acara hari ini.
Tidak mungkin 32 orang anak kami minta mengikuti praktek.
Jadi kami pilah saja jadi tiga kelompok, anak kelas 1 SMP dan kelas 6 SD
mengikuti praktek membuat pisang caramel. Anak TK sampai kelas 2 SD menggambar.
Yang terakhir anak kelas 3-5 SD, dengan jumlah paling banyak, kami minta
menulis biografi singkat diri masing-masing.
Di akhir acara, pisang caramel itu dibagikan ke seluruh
anak-anak, yang dalam waktu singkat sudah ludes dilahap. Mereka menyukai pisang
caramel itu, kelompok pertama sangat puas karena praktek mereka berhasil, hal
itu sangat bagus dalam memupuk keyakinan mereka untuk mengikuti pelatihan-pelatihan
selanjutnya setiap hari kamis.
Wigit (berbaju hitam) segera berpose dengan pisang karamel saat saya mendekat dengan membawa kamera. |
Kelompok kedua, anak TK sampai kelas 2 SD saya minta
menunjukan gambar mereka, sesegera mungkin mereka berebut menunjukan hasil
karyanya. Ada yang menggambar biasa seperti dua gunung dengan metahari terbit
di tengahnya. Sampai menggambar dua orang, yang satu botak dan lainnya berambut
kribo, menurut penggambarnya dia melukis kami berdua.
Nah, ini dia kelompok ketiga yang sangat saya harapkan
membuat dinamika di Rumah Belajar ini semakin hidup. Sejak awal saya berniat meminta
mereka menceritakan tentang dirinya di depan umum. Hal ini untuk membiasakan
mereka tampil di depan teman-temannya, mengajak mereka saling mendengarkan dan
mengapresiasi, mendorong mereka untuk saling mendukung dengan bertepuk tangan
dan tidak mengejek bila ada yang berbeda.
Awalnya, saya minta sukarela dari mereka untuk maju satu per
satu ke depan. Tidak ada satupun yang bergerak, mereka semua menunduk tidak
berani melihat ke arah saya. Muncul secercah harapan saat satu anak mulai
berdiri dan membaca biografi singkatnya, seselesai dia bercerita saya ajak
semua anak untuk bertepuk tangan mengapresiasi. Riuh rendah tepuk itu berangsur
hilang berganti hening saat saya Tanya siapa yang mau selanjutnya bercerita.
Semua menunduk malu-malu lagi. Mulai frustasi maka saya
tunjuk saja anak-anak yang terlihat
cukup aktif selama kegiatan namun tidak ada satupun yang mau bersuara. Sambil
terus menunduk Jessie berucap “Takut salah kak”. Saya mulai bingung “ini kan
cerita tentang diri kalian, tidak akan ada yang salah”. Maka mereka mulai ramai
saling menunjuk, namun kembali hening saat ditunjuk, terus begitu.
Beberapa anak yang seringkali ditunjuk merasa tertekan dan
menunjukan tanda-tanda mau menangis. Seorang anak berbaju merah saat hilang
dari pengawasan mencoba kabur keluar Rumah Belajar. anak-anak lain protes minta
supaya belajar berhitung saja. Suasana mulai tidak kondusif maka kami sudahi
saja acara itu dan menjadikan itu sebagai PR.
fenomena ini membuat saya berpikir tentang anak-anak itu dan
yang juga pernah saya alami selagi kecil. Saya tidak akan pernah menyalahkan
anak-anak itu atas ketidak beraniannya. Saya cuma yakin ada yang salah dengan
sistem negara mendidik anak-anak. Di aktifitas kelas yang terkadang kejam hanya
ada dua pilihan: menjadi pemenang atau menjadi pecundang. Saat kamu bisa
mengerjakan soal dengan benar maka apresiasi tidak ada tapi saat kamu salah maka
seiisi kelas akan mencemooh. Hal itu membawa kita jadi orang pasif yang hanya
bisa mengritik.
Selain itu, kamu tidak boleh berbeda, kalau kamu berbeda
maka kamu aneh dan harus dihindari. Kamu tidak boleh berbeda, berbeda adalah
“kejahatan”, kita sadar bahwa kita “berbeda” tapi kita harus menjunjung tinggi
“persatuan” dan “kesatuan”. Mungkin karena itu anak-anak tersebut tidak mau
bicara, karena mereka takut berbeda dengan anak-anak lain. Mereka takut menjadi
cemoohan karena berbeda.
Rina (berbaju coklat0 dan Fajar (kotak-kotak biru hitam) , teman dari FKIP yang bertugas di Rumah Belajar beriringan dengan anak-anak menuju sungai untuk mandi bersama. |
Guru adalah kebenaran sejati maka kamu adalah “sesat” bila
mencoba berpikir berbeda, kamu adalah “kriminal” kalau banyak bertanya apalagi
sampai guru tidak bisa memberikan jawaban. Di kelas tidak boleh ada yang banyak
bicara selain guru. Sejak kecil kepercayaan diri dan kemampuan berpikir kritis
telah dibungkam.
Sekolah punya satu standar, kamu digolongkan cerdas saat
unggul di mata pelajaran eksakta. Tapi kelas kedua saat kamu ungggul di
berkesenian, sastra dan ilmu-ilmu sosial yang dicap hafalan. Tidak ada
kesempatan untuk muncul saat kamu menjadi unik.
Sampai kapan hal ini bisa dimaklumi?
Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.
sedih juga bacanya... sedari kecil memang kita diajarkan utk 'takut bila salah'
ReplyDeletepadahal kesalahan itu sendiri bagian dari pembelajaran.
sy jadi teringat, masa2 awal sekolah di belanda. selalu bisa diamati kalo mahasiswa asal indonesia krg aktif terlibat diskusi di kelas, karena 'takut dianggap salah, bodoh, tdk mengerti'
padahal guru sendiri sdh menerangkan, bhw dlm diskusi tdk ada opini yg benar/salah.
hny masalah sudut pandang yg berbeda.
jadi ingin terlibat lbh jauh, utk mendidik anak2 penerus bgs supaya mereka lebih memahami nilai2 tentang kehidupan (drpd sekedar pintar/ nilai bagus semata).
Bener banget... seandainya dari dulu kita menyadari bahwa tiap orang beda dengan apa yang mereka punya. Toh Tuhan menciptakan kita dengan kelebihan dan keunikan masing2 kawan. beranilah berbeda...
ReplyDelete