Menengok Jepara Selepas Kartini
#009
cerita ini adalah lanjutan dari post Jepara dan Badai Laut Jawa
Menjejak
Jepara
Kami
berjalan gontai setelah mendengar cerita sang penjaja rujak, karimun
jawa ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Namun, dibalik
setiap kekacauan disitu ada peluang baru. Begitupun kami melihat
ketidakmujuran ini sebagai peluang untuk mengintimi jepara.
Angin
laut yang mengalir deras seakan membangkitkan rambut lepek dari kubur
mengantar kami menuju mobil. Hal pertama yang melintas di kepala
adalah menemukan tempat berbaring yang terjangkau kantong. Selain
murah, kamar itu juga harus bersih, dengan atau tanpa kamar mandi
dalam itu tidak menjadi soal.
Terima
kasih kepada semua travel blogger yang selalu memahat pengalamannya
dalam setiap karakter yang membentuk informasi di dalam mesin
pencari. Tanpa menunggu lama kami menemukan hotel dengan harga sesuai
kantong dengan fasilitas di atas ekspektasi. Hotel kencana, berjarak
10 menit perjalanan dengan mobil dari dermaga, berada di tengah kota,
menawarkan kamar dengan double bed+ kamar mandi dalam, kami hanya
perlu berkorban delapan puluh ribu rupiah.
Menjelang
senja berakhir kami melangkah keluar hotel, berbekal informasi dari
penjaga hotel kami menuju salah satu atraksi Jepara di malam hari. Shoping Center Jepara biasa disebut SCJ yang berdekatan dengan alun-alun jepara. Karena waktu yang cukup luang
kami memilih berjalan kaki, selain untuk meregangkan otot yang kaku
karena sepanjang hari bergantian mengemudi, berjalan kaki
memungkinkan kami untuk lebih mengenal kehidupan di sepanjang jalan
yang dilewati.
Sedari
matahari masih di atas ubun-ubun saat kami memasuki kota ini, jujur
kami cukup heran dengan paradoks yang terjadi. Jepara memiliki tata
kota yang rapi, lingkungan yang asri dan bersih, serta gedung-gedung
perkantoran setara kota Yogyakarta. Namun, suasana yang sepi dengan
mobil yang jarang lalu-lalang, jalan begitu lenggang. Sebagai orang
yang belajar ekonomi saya sempat bertanya-tanya apa saja kegiatan
ekonomi disini sampai bisa Jepara semaju ini tanpa ada keramaian.
Seiring
lima belas menit berlalu, sampai juga kami di SCJ, dari kejauhan saja
tenda-tenda putih raksasa disini yang disinari lampu-lampu haus
energi sudah menggoda mata. SCJ menyediakan setiap hal yang
diperlukan untuk wisata keluarga. Mulai dari kaki lima penjual baju,
kereta mini lengkap dengan jalur yang melingkar, serta berbagai
sarana permainan anak. Namun, buat kami hal yang paling menggoda
adalah kulinernya.
Perut
kami tentu tidak akan mampu menampung segala macam makanan unik yang
namanya asing di telinga. Oleh karena itu kami putuskan untuk setiap
porsinya akan kami habiskan berdua. Selain untuk menata kapasitas
perut agar bisa menampung semua rasa, tentunya untuk mencegah
pengeluaran membengkak di awal perjalanan. Momen ini cukup romantis
untuk kami, pasangan baru, yang mencoba saling lebih mengenal dengan
roadtrip memutari pesisir jawa tengah-jawa timur.
Horok-horok
yang pertama kami coba. Makanan yang terbuat dari tepung aren,
bentuknya butiran-butiran kecil menyerupai sekoteng. Rasanya gurih
dengan tekstur yang liat dan kenyal. Lanjut dengan berbagai macam
minuman hangat dan dingin, yaitu: Adon-adon
Coro, minuman jahe santan dengan irisan kelapa bakaryang disajikan
hangat, membuat malam yang gerah jadi tambah panas. Es Gempol,
minuman santan dan gempol (bola dari tepung beras), menurut
penjualnya minuman ini bisa disajikan manis, asin, hangat ataupun
dingin. Es Pleret minuman santan dan pleret (tepung beras yang
dimakan sedikit kenyal) hampir mirip dengan gempol, es ini cukup
mendinginkan raga dan pikiran. Lanjut dengan mengudap moto Belong,
ketela parut dibungkus daun pisang dan tengahnya diisi buah pisang
masak, menuurt penjualnya bahan-bahan tadi dikukus, dan disajikan
dengan cara dipotong-potong agak miring menyerupai bola mata dan
dimakan dengan kelapa yang diparut dicampur sedikit gula. Sebagai
orang Indonesia, tidak afdol kalau tidak makan nasi, jadi kami juga
melibas kupat tahu dan nasi goreng sea food. Perut kenyang dan muncul
kebanggaan sebagai orang Indonesia. ( korelasi yang
aneh).
Keesokan
harinya, muncul masalah baru, kunci elektronik mobil tidak berfungsi
seperti semestinya. Setelah berkali-kali diotak-atik berakhir pada
menyerah dan menerima kenyataan buka-tutup pintu mobil harus
dilakukan secara manual. Namun, itu belum terasa jadi masalah
sehingga kami lanjut mengunjungi museum Kartini di sebelah alun-alun
kota.
Saya
percaya, berwisata ke tempat-tempat bersejarah seperti candi, museum
dan istana takkan pernah menimbulkan kesan mendalam tanpa ada orang
yang benar-benar bisa menjelaskan pesan-pesan yang tersirat. Layaknya
pergi ke candi tanpa pernah tahu siapa, kenapa dan bagaimana candi
itu bisa berdiri sama saja seperti berkunjung ke tumpukan batu tua
tanpa makna. Sehingga kami memutuskan untuk menyewa pemandu, Abdul
Latif namanya.
Museum
ini terbagi jadi empat bagian: beriringan memamerkan barang
peninggalan Kartini dan kakaknya, Sosrokartono, yang bisa menguasai
26 bahasa asing, juga sejarah jepara pada abad ketujuh masa
pemerintahan ratu Shima, lingga yoni yang ditemukan di jepara,
sampai tulang-belulang ikan raksasa bernama Joko Tuwo sepanjang enam
belas meter dengan berat enam ton.
Sesudah
mengunjungi museum, kami mengunjungi rumah kediaman Kartini. Di
halaman belakang, masih berdiri ruang kelas yang pada saat Kartini
hidup digunakan untuk mengajar. Rumah Kartini ini begitu megah
walaupun dibandingkan dengan rumah-rumah zaman sekarang. Di rumah
inilah Kartini dilahirkan juga dipingit.
Jarum
pendek menunjuk angka 11 dan jarum panjang menanda angka 12 tanda
matahari semakin mengangkasa, maka kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan menuju timur. Melintasi jalur pantai utara untuk mengenal
peradaban yang terus berkembang sejak awal kedatangan Laksamana Cheng
Ho sampai maraknya dangdut koplo saat ini.
To
be continued......
ke karimunjawa tahun 2011 lalu, saya tertahan di jepara sehari, kehabisan tiket. tapi karena tertahan itu saya main2 kano di pantai bandengan, juga ke museum kartini.
ReplyDeletekehabisan tiket atau ketinggalan bis tak selamanya mengesalkan. :)
Ahhhh.. aku jadi kangen minum Adon-adon Coro! Dulu ibuku sering buat sendiri di rumah. Hampir-hampir sama deh kuliner Pati dan Jepara.
ReplyDeletehorok-horok itu makanan khas Jepara lho....
ReplyDeletetapi sekarang sedikit sekali orang yg membuatnya walau masih gampang ditemukan di pasar-pasar di Jepara.
Jepara bisa semaju itu mungkin karena faktor pariwisata dan kerajiannya...
hampir setiap kecamatan di Kab. Jepara mempunyai ciri khas kerjainan masing-masing, seperti gerabah di kec. mayong, tenun troso di kec. troso, meubel di kec. tahunan, dll....
:)