Secuil Sunda di Kaltim


Memasuki  pertengahan bulan kedua saya tinggal di Miau Baru, Kalimantan Timur, keluarga mamak Wa mengajak saya main ke kota, Samarinda, untuk menjenguk anaknya yang kuliah di kota itu. Hati saya senang bukan buatan, setelah cukup lama tinggal di pelosok yang sepi sebenarnya saya cukup rindu dengan keramaian  kota besar, dan rasa-rasanya mamak Wa mengerti itu.


Di tengah perjalanan yang menurut mamak Wa tidak terlalu jauh, Cuma 16 jam dengan kendaraan pribadi. Untuk dirinya yang sering bepergian lintas provinsi di Kalimantan jarak ini rupanya dianggap dekat. Saya yang pernah naik kereta Sri tanjung Yogyakarta-Banyuwangi selama 16 jam juga cukup merinding membayangkan perjalanan yang akan kami lalui.


Nah, kami seringkali berhenti untuk makan atau sekedar meregangkan kaki sembari minum es. Ada satu hal yang membuat saya terheran-heran tidak percaya. Di tengah perjalanan yang lintas hutan dan perkebunan kelapa sawit. Selepas Sangatta kami berhenti di rumah makan Sunda “Tahu Sumedang Renyah”, kalau tidak salah ingat di daerah Karet tempat itu berlokasi.


Berada di pinggir jalan yang teduh karena sekitarnya penuh pohon karet, restoran ini membuat saya merasa tidak berada di Kalimantan Timur, melainkan di daerah Bandung atau Cianjur. Suasananya benar-benar sunda, sayang saja waiternya tidak berlogat sunda.


Di sana saya memesan nasi timbel empal gepuk, lengkap dengan sambel terasi, tahu goreng dan sayur asem. Rasanya benar-benar sunda sekali, seperti yang saya seringkali cicipi di rumah saya, Rangkasbitung-banten. Di jogja saja saya belum pernah menemukan rumah makan sunda dengan cita rasa se-sunda ini. 


Disini saya sebenarnya tidak ingin mengulas tentang sisi kuliner dan pariwisatanya karena tidak ada yang cukup special untuk dibicarakan. Saya hanya melihat tempat sebesar ini dengan hanya kami berlima sebagai pengunjungnya, seberapa nekad pemilik tempat ini yang menarik perhatian saya.


Yang muncul di otak saya waktu datang ke tempat ini adalah pemikiran saya sebagai anak ekonomi manajemen yang selalu berpikir tentang peluang bisnis dan manajemen strategis.


Muncul beberapa hipotesa dalam melihat anomali keberadaan tempat ini
  • Di Kalimantan Timur ini banyak pendatang dari Jawa Barat yang rindu kuliner daerah asalnya, sehingga pemilik  melihat ini sebagai pasar potensial.
  •  Pemilik melihat belum ada restoran sunda sehingga berspekulasi untuk mengenalkan kulinernya ke pelaju lokal.
  • Pemilik menyukai masakan Sunda sehingga tanpa analisis pasar yang matang mendirikan rumah makan sunda di tengah hutan yang jauh dari kota.
Berikut saya berikan beberapa foto dari restaurant besar ini:

 
Wigit (berbaju abu-abu), mamak Wa (syal biru) dan kak Else (baju kotak-kotak)


kasir dan warung kecil di ujung restoran


banner di pinggir jalan, menyambut pengendara yang lewat


rstoran tampak dari belakang


menu yang saya pesan: emal gepuk, lalap, sayur asem dan tahu goreng




Comments

  1. uwaaa empal gepuk! nasinya kok lucu si bentuknya. kayak onigiri :O

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati