Exposition Nugroho


Exposition Nugroho
Hujan mereda adalah salah satu yang paling saya tunggu sore tadi. Saat langit menggelap tapi awan kelabu juga berpamitan maka langsung saya ambil sepeda onthel dan mengayuhnya cepat-cepat agar tidak terlambat. Event-event  di tempat saya kursus perancis selalu menarik, maka jarang sekali saya lewatkan.

E

vent kali ini berjudul “Exposition Nugroho” berat ya judulnya? Nampak begitu semiotika dan filosofis ya? Tidak usah berpikir terlalu jauh, artinya sederhana, yaitu “Pameran Nugroho”. Exposition adalah kata dalam bahasa Perancis yang berarti pameran.

Lalu siapakah Nugroho itu? Lalu apakah yang ia pamerkan?

Begini saja, karena saya tidak sempat mengobrol dengan Nugroho yang saat pameran dikelilingi orang-orang yang mengapresiasi karya-karyanya, maka saya tulis saja kata pengantar di poster yang dipampang dekat pintu masuk.


DARI REVITALISASI HINGGA KREASI

Saya belum lama mengenal Nugroho, tetapi sudah lama saya tahu ada pelukis kaca muda yang tinggal dan berkarya di Muntilan. Saya mulai mengenalnya dari beberapa buah karya Nugroho koleksi mas Sutanto di Mendut yang senantiasa memantau dan mendukung munculnya bakat-bakat baru.

Sejak dulu Muntilan menjadi salah satu pusat produksi lukisan kaca yang hidup di daerah pinggiran Yogyakarta. Pada tahun 1930-an, pelukis-pelukisnya sudah memasok pasar “gambar” kaca dengan bermacam-macam tema seperti tokoh dan adegan wayang, gambar masjid, pot bunga, dll. Setengah abad kemudian, Maryono dan Sastrogambar bersaudara sempat memberi nafas baru kepada seni lukis kaca, sambil tetap berpegang teguh pada tradisi pendahulu-pendahulu mereka. Berbeda dengan pelukis generasi sebelumnya, mereka mendapat dukungan dari kaum cendekiawan dan seniman Yogya, demi merevitalisasi sebuah kesenian rakyat yang ketika itu –tahun 70-an dan 80-an – terancam punah.
Nugroho, asal Magelang, lahir dan besar dalam suasana seni yang sama. Ia belajar dari sang ayah – Pak Waged, seorang pelukis kaca yang aktih hingg tahun 2000-an- dan karya-karyanya yang pertama masih mencerminkan budaya itu. Namun, pada suatu saat Nugroho merasa harus memilih  antar meneruskan aliran baru sebuah budaya pop (lupakan saja istilah tradisi …) atau menggarap lahan inspirasi yang baru. Akhirnya ia memilih yang kedua, Kreasi. Selain menekuni seni rupa secara akademis, Nugroho mulailah berkreasi tanpa terikat pada tema maupun gaya yang sudah ia akrabi. Ia juga pindah ke media baru. Maklumlah, bagi pelukis, kanvas praktis tidak menyisakan ruang untuk kaca.
Pameran ini adalah hasil 10 tahun eksperimen dan penjelajahan di dunia seni lukis, disertai dengan pematangan tema dan teknik.

. . . . . .

Tema-tema yang diangkat Nugroho jauh dari dunia sesama pelukis kaca. Ia menilik dan meresap adegan, gambar, dan sosok yang berada di lingkungan hidupnya –katanya juga dari majalah-- , tetapi salah satu tema yang paling sering muncul adalah kesepian manusia di dunia ini.. lihatlah potret-potret tunggalnya dengan warna hitam, abu, putih dan krem yang dominan.

Dari segi teknik, Nugroho bertolak belakang dengan teknik sungging dan blok warna polos yang dipakai pelukis kaca tradisi. Tarikan-tarikannya lebih bersifat geometris atau coretan tak terarah dari pada sunggingan.  Di samping berbagai teknik pewarnaan. (termasuk pointillisme dan tachisme). Nugroho juga memanfaatkan lapisan cat yang ia sapukan, yang kemudian digores untuk memunculkan figure atau bentuk. Yang menarik lagi, Nugroho sangat piawai menerapkan teknik akuarel dan membiarkan cat hitam transparan meleleh, sehingga memberi kesan spontanitas alami, padahal sangat terkontrol tentu saja.

Nugroho tidak pernah jauh dari kaca dan kini rupanya –mudah-mudahan—kembali sepenuhnya ke media itu. Syukurlah! Pelukis yang benar-benar menghayati media kaca adalah sosok yang jarang, dan mereka yang menempatkan diri di titik temu antara kaca dan seni kontemporer lebih langka lagi.






Dr.Jerome Samoel
Profesor dan peneliti di Institut National Des Langues et Civilisations Orientales, Paris






Begitulah, namun, seunik-uniknya dan selangka-langkanya karya yang ia hasilkan, Nugroho tetap orang Indonesia yang memegang teguh kebiasaan dan kepercayaannya. Saat Xavier membuka acara dengan sejarah dan fungsi seni. Nugroho  berbicara tentang syukur pada Tuhan atas karunianya dan terima kasih sebesar-besarnya pada orang tua yang mengajarinya, seperti orang Indonesia yang beriman dan sangat hormat  orang tua”

Nugroho juga membuat karya seni menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat kebanyakan. Lukisannya, yang prosesnya memakan waktu, dapat dikoleksi dengan mengorbankan biaya tidak sampai Rp.500.000,00. Dalam 30 menit semenjak pameran dibuka, sudah banyak lukisannya yang dipesan oleh pengunjung yang kebanyakan expatriate. Banyak yang kecewa karena lukisan yang diinginkan ternyata sudah lebih dahulu dipesan oleh orang lain.

Dengan suksesnya acara ini, semoga semakin banyak seniman Indonesia yang berani berkarya beda. Dan juga kesadaran berkesenian dan apresiasi seni dari segenap keluarga bangsa ini semakin membaik.

Semua foto diambil menggunakan kamera Ipad.












Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati