Isin – Penari Gong dari Miau Baru
Isin, bersiap-siap menuju Lamin Adat, karena giliran menari sudah dekat. |
Gadis itu menari dengan rancak di antara penari lainnya,
tiap gerak gemulai mengikuti irama dawai tradisional yang dimainkan Pak Irang. Kelembutan dan
ketegasan yang berpadu di setiap gestur terukur miliknya membius seluruh
penonton di Sanggar Tari Lekan Maran. Sebagai penari inti ia menjadi motor bagi
penari pengiring lainnya. Tarian hampir mencapai klimaks. Gong berdiameter
lebih kurang setengah meter yang sedari awal dibawa seorang penari kini
diletakan di tengah. Penari yang
seluruhnya berjumlah Sembilan orang itu membentuk formasi baru. Si gadis naik
ke atas gong, dalam hitungan sunyi terarah delapan penari lainnya mengangkat
gong sekaligus si penari. Si gadis tetap lanjut menari di atas gong, tanpa
tersirat ketakutan. Kami saja yang menonton sempat khawatir. Irama dawai
semakin kencang, si gadis dan penari pengiringnya menari semakin liar, seakan
hilang kesadaran. Serentak seluruh penonton yang berjumlah dua belas orang
memberikan tepuk tangan meriah.
Itulah perjumpaan pertama kami dengan Isin, penari yang
meliuk-liuk di atas gong, gadis berusia 17 tahun, duduk di bangku kelas 3 ,SMA
1 Kongbeng, Miau Baru, Kalimantan Timur. Perjumpaan itu juga yang menjadikan
hari-hari kami jadi menarik. Kenapa? Fajar, sahabat kami dari Fakultas
Pendidikan, diam-diam menaruh hati padanya. Seperti kisah-kisah klasik anak KKn
yang kepincut bunga desa maka ia memberanikan berkunjung ke rumah Isin.
Sebentar, ia sebenarnya tidak cukup berani. Lebih tepatnya kami bertiga (saya,
Wigit dan Rina) selalu menemani Fajar mengunjungi rumah Isin. Usaha Fajar
menjadi topik hangat selama sisa-sisa tinggal di desa Miau Baru ini.
Isin sudah belajar menari semenjak kelas enam SD. Ia
menguasai hampir semua tarian Dayak Kayan, mulai dari tarian berkelompok,
tunggal sampai berpasangan. Tarian itu juga sudah membawanya ke kota-kota besar
di Kalimantan. Kabar terakhir sebelum kepulangan kami, kelompok tari Lekan
Maran dimana ia sebagai penari inti, berhasil meraih juara 1 di salah satu
festival.
Sebagai penari berbakat dengan banyak kesibukan latihan tari,
ia tetap bertanggung jawab dalam membantu ibunya menjalankan rumah. Beberapa
kali saat kami lewat rumahnya, ia sedang mengangkut kayu bakar. Atau saat pagi
kami bermain di tepi sungai, kami menemuinya di atas perahu membawa nasi-nasi
sisa untuk pakan babi. Banyak pekerjaan yang harus ia tanggung karena ayahnya
sudah lama meninggal. Di rumah ia hidup bersama ibu dan kedua adiknya.
Terakhir kontak kami dengan Isin, ia sedang belajar keras
mengejar ketertinggalan mata pelajaran sebelum menghadapi Ujian Nasional. Tidak
ada gading yang tak retak, Isin tidak menonjol di kelas. Walaupun begitu, ia
bercita-cita ingin melanjutkan kuliah supaya bisa jadi guru di kampungnya. Doa
kami, supaya ada pencari bakat yang menemukan Isin dan membantunya menggali
seluruh potensi yang ia miliki. Juga supaya kekayaan tarian Dayak Kayan tetap
lestari di tangan anak mudanya.
Isin dan Wigit, berpose sebelum menunggu rangkaian acara selanjutnya. |
Saya dan Isin, |
wkwkkw, klasik ya
ReplyDelete