Bukittinggi – Taman Panorama, Ruang Terbuka Hijau Kota



Matahari mulai sedikit condong ke barat saat sepiring nasi kapau sudah ludes, tuntas dipindahkan ke dalam perut. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang sempit, saya langsung menuju jenjang yang merupakan jalan pintas dari Pasar Atas ke Kampung Cina. Melewati Pertigaan tempat Martabak Kaka, saya melangkah di jalan menanjak yang di kiri-kanannya disesaki penginapan.

Setelah berjalan kurang lebih 500m, saya tiba di Panorama Park, harga tiketnya Rp.5000. Dari sini, kita bisa melihat pemandangan Ngarai Sianok yang legendaris. Sungai berkelok-kelok di antara perbukitan kapur, pepohonan hijau saling mengisi dengan tanah yang berwarna keemasan disiram cahaya mentari sore. Gunung Marapi jadi latar, menyempurnakan keagungan pemandangan alam yang ada.  Bila sedikit jeli, kita bisa menemukan tembok besar membelah lebatnya hutan di tepi ngarai. Masyarakatnya menyebutnya Great Wall, tidak salah, sekilas memang mirip tembok besar di China, dalam skala jauh lebih kecil tentunya. Sayang, saya  tidak punya cukup waktu untuk mengunjungi tembok tersebut.

Pemandangan Ngarai Sianok dari salah satu sisi Taman Panorama.


Di taman yang terdapat  patung dua orang tentara berseragam jepang ini, monyet-monyet bebas berkeliaran dari pohon ke pohon atau bersantai dengan kelompoknya di rumput, mereka terlihat sangat tenang. Berbeda dengan yang saya saksikan di Tanah Lot, monyet di sini tidak coba mencuri makanan dan perhiasan pengunjung. Saya rasa, pengelola selalu memberi monyet tersebut makan yang cukup, mungkin juga alam di sekitar masih menyediakan segala kebutuhan monyet itu? Saya juga tidak tahu pasti jawabannya.

Panorama Park nampaknya menjadi tempat favorit muda-mudi Bukit Tinggi dalam memadu kasih. Di setiap sudut taman saya menemukan pasangan sedang asyik bercengkerama. Untung saja, di sini tidak ada tempat yang gelap dan tersembunyi, karena bisa-bisa disalahgunakan oleh pasangan yang tidak bertanggung jawab. Selain yang muda yang bercinta, keluarga-keluarga juga tidak mau kalah memanfaatkan keasrian taman ini untuk mengentalkan keakraban di antara anggotanya. Di taman ini saya menemukan banyak keluarga yang menggelar tikar dan makan bersama. Dari pancaran kebahagiaan mereka saat bersendau gurau, saya menemukan bahwa bahagia itu sederhana.

Saya berandai-andai, mungkin tingkat stress penduduk di kota besar seperti Jakarta akan mereda, bila pemerintah menyediakan ruang publik hijau yang seimbang, terawat dan cukup bagi warganya seperti ini. Semoga suatu hari hal ini bukan sekedar angan.



Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?