Membakar Perahu
Dahulu kala, terdapat dua negara yang dipisahkan suatu
sungai besar. Suatu hari, negara timur menyeberangi sungai tersebut untuk
berperang. Sesampainya di perbatasan negara barat, Sang Panglima membakar
seluruh perahunya. Penasihat raja mempertanyakan alasan tindakan tersebut. Sang
Panglima menjawab dengan ringan “supaya semua pasukan tahu, mereka tidak bisa
mundur dan pulang, pilihannya cuma menang atau mati”. Alhasil, negara timur
memenangkan perang itu, karena pasukannya dipaksa harus menang jika ingin
pulang.
Kisah ini pertama kali saya dengar ketika duduk di kelas 6
SD, dari kakek yang merupakan seorang pebisnis dan pencerita ulung. Ia menceritakan ini ketika kami
mengobrol di depan penginapan yang sekaligus rumahnya. Setiap kali kami
bersama, Ia senang sekali bercerita tentang kisah-kisah perang dan strategi
Sun-tzu . Saya tidak tahu apa maksud ia menceritakan hal-hal yang asing untuk
anak kelas 6 SD.
Saya tidak menyangka, kisah itu akan muncul di kepala ketika
saya sudah harus memutuskan kemana akan melangkah setelah lulus kuliah di
Jogja. Buat saya, Jogja itu adalah rumah pertama, jauh melebihi rumah asal
lahir saya sendiri. Jogja adalah kota di
mana saya mengenal setiap sudutnya. Saya mencintai orang-orangnya,
lingkungannya, kemacetannya, makanannya, segalanya. Tapi, sampai suatu titik, saya tahu, saya
harus meninggalkan kota ini. Setiap saya pergi jauh, berhari-hari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, saya tidak pernah merasa home sick, karena
saya tahu akan selalu bisa pulang ke Jogja. Ada “rumah” di sana, suatu kamar
kos panas berdebu yang sudah ditinggali hampir enam tahun. Tapi bagaimana bila
tidak ada “rumah” lagi untuk pulang?
Hal itu yang menjadi kegelisahan saya sewaktu memutuskan
tawaran seorang sahabat baik untuk pindah ke Bali. Pindah, bukan sekedar
melakukan perjalanan dan pulang. Di Bali pun, saya akan menghadapi
ketidakpastian, belum ada pekerjaan dan uang sangat pas-pasan. Selama
berbulan-bulan, saya menimbang-nimbang, merenungkan dan mendiskusikan. Selalu ada alasan untuk tidak meninggalkan
Jogja, untuk meredakan keberanian dan menunda kepergian.
Lalu, kenapa saya harus pergi ke Bali? Karena memang pindah
ke sana sudah saya pikirkan semenjak awal kuliah. Di sana, saya bisa belajar
banyak tentang bisnis pariwisata yang menjadi minat saya. Tapi di ujung
kepergian, saya merasa takut dan berat. Meninggalkan jogja berarti meninggalkan
separuh jiwa. Sampai pada suatu titik, saya berani untuk pergi, untuk
“berperang”.
Namun, saya menyadari saat Jogja masih menjadi “rumah”,
pulang akan selalu jadi pilihan ketika “peperangan” tidak berpihak pada saya.
Oleh karena itu, tahap demi tahap, saya kirim barang-barang kesayangan yang
paling penting ke Bali. Barang-barang lain perlahan saya hibahkan ke
teman-teman. Sampai saya menyadari, tidak punya apa-apa lagi di kamar itu,
sehingga saya tidur di kamar kosong beralaskan sleeping bag. Hak empat bulan
untuk menggunakan kos itu pun saya serahkan kembali ke pemiliknya. Saya
membakar perahu untuk bisa pulang.
Seorang teman yang heran dengan tindakan saya, bertanya
“kalau lu ngga dapat kerjaan di Bali, terus gimana? Terus uang lu udah keburu
abis” Saya sempat lama memikirkan itu, tapi saya teringat lagi kata-kata kakek,
“selalu ada pekerjaan halal untuk orang yang mau berusaha, asal kita ngga
gengsi saja”. Bila harus bertahan hidup, saya siap untuk mencuci piring,
mengepel dan pekerjaan kasar lainnya. Saya juga yakin, dengan penguasaan dua
bahasa asing, masa tidak tersedia pekerjaan yang lebih halus. Saya jadi ingat
perkataan Pastur pamong sewaktu saya bersekolah di Seminari saat kami
mempertanyakan keputusannya kenapa mengharuskan mengepel lantai dengan lap dan
tangan “Kemampuan kerja tangan itu penting, di situ kamu belajar untuk
menghayati penderitaan dan perjuangan”.
Keraguan tidak sampai di situ saja, saat seorang sahabat
bertanya mengenai masalah uang. Dia yang sudah mempunyai pekerjaan mapan di
Jakarta memberi saya pertimbangan lain. Bagaimana dengan besaran gaji, prospek
karir, gaya hidup dan tetek bengek lainnya yang tentu saja membutuhkan uang
banyak. Saya gundah, saya bimbang, saya takut.
Tapi muncul kesadaran lain, ada hal yang buat saya lebih
penting (sekali lagi, ini penting buat saya, dan pasti belum tentu penting buat
orang lain). Saya butuh waktu untuk membaca buku, udara segar,belajar banyak
bahasa asing, berkesenian, memelihara anjing, menulis refleksi, pergi ke pantai
atau gunung, jalan pagi, melakukan
kegiatan untuk orang lain dan berteman dengan sesama. Ini lebih penting dari selisih
nominal lima atau enam juta bila saya bekerja di sana. Saya tahu, hal-hal itu tidak mungkin bisa saya
lakukan SEMUA ketika bekerja di Jakarta. Seluruh waktu saya akan habis untuk
bekerja dan terjebak kemacetan di jalan, buat saya itu mengerikan (sekali lagi
saya tidak menjustifikasi pilihan setiap orang yang bertahan di sana, setiap
orang punya kemampuan dan prioritas masing-masing). Beruntung, saya besar di sekitar sana, jadi
saya tidak termakan Jakartans Dreams yang biasa melanda mahasiswa daerah.
Selalu ada yang harus dikorbankan, saya mengorbankan besaran
gaji dan tingkat karir. Selain itu, saya belajar, ada banyak cara untuk menjadi
berduit. Kedua kakek tinggal di pedalaman tapi mereka bisa memiliki bisnis yang
bagus sehingga bisa membeli yang dia mau. Serta banyak saya temui sepanjang
perjalanan , orang yang tidak tinggal di Jakarta tapi bisa menjadi mapan. Semua
itu masalah kejelian melihat peluang. Itu pilihan mau jadi ikan kecil di kolam
besar, apa ikan besar di kolam kecil.
“Aku tidak tahu apa yang ada di otakmu, sampai kamu
mempertaruhkan banyak hal cuma untuk mengejar hal yang ngga jelas, yang kamu
sendiri ngga tau, membuang peluang lain yang lebih jelas dan lancar” ungkap
seorang teman. Waktu itu, saya bercerita
bahwa saya menolak tawaran seorang teman (yang bertemu saat traveling) yang
bekerja sebagai HRD di bank swasta di Jakarta, untuk dia bantu masuk management
trainee walaupun IPK saya tidak cukup. Saya punya mimpi lain yang ingin saya
kejar. At least, if I don’t win here, I learn. Tentu saja, Bali bukanlah tujuan
terakhir saya, malah sebuah permulaan, masih banyak tempat yang ingin saya
tinggali, tapi saya ingin bekerja keras sekaligus bersenang-senang dulu di
sini.
Saya selalu teringat kata-kata Mark Twain “Life is short, break
the rules, forgive quickly, kiss slowly, love truly, laugh uncontrollably, and
never regret anything that made you smile. Twenty years from now you will be
more disappointed by the things you didn’t do than by the ones you did. So
throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds
in your sails. Explore. Dream Discover.
Sekali lagi, ini tulisan pribadi, apa yang saya tulis apa
yang saya pikir terbaik buat saya. Apa yang baik buat saya pasti belum tentu
baik buat orang lain. Tulisan ini saya buat karena sudah lelah menjelaskan
kepada orang-orang yang memaksakan apa yang terbaik buat saya menurut mereka.
hidup cuma sekali, apa menariknya kalau kita ga ngambil resiko buat nentuin jalan hidup :P
ReplyDeleteattraversiamo!
bagian soal jakarta nya itu bener banget, mengerikan!!!!
ReplyDeletebtw, aku punya tiket ke bali bulan januari tgl. 15, transit mau ke kupang.
kita ketemuan yak.
Ah jadi pingin ke bali .....
ReplyDelete