Honesty Seems To Be The Hardest Word




Setiap rokok ayah habis, ia akan menyuruh saya membeli rokok ke warung. Saat itu harga rokok Gudang Garam masih Rp. 3.000,00, ayah selalu memberi saya uang Rp. 5.000,00, setiap saya menyerahkan rokok dan uang kembalian kepadanya, maka ia akan selalu memberikan uang kembalian itu untuk saya. Untuk anak kecil di zaman itu, uang dua ribu rupiah saja sudah sangat besar, maka saya sangat antusias setiap ayah menyuruh membeli rokok.

Selama bertahun-tahun, saya terbiasa membeli rokok dan mendapat uang kembaliannya. Sampai suatu ketika,  saya pulang membawa rokok dari warung ketika ayah sedang mandi. Saya taruh rokok di atas meja tempat ayah biasa menaruh asbak dan rokok. Di rel kereta, teman-teman sedang berkumpul main petasan, uang kembalian tersebut tanpa pikir panjang saya bawa untuk membeli petasan. Sore itu sangat menyenangkan, saya bisa melempari kereta yang lewat dengan petasan.



Langit mulai memerah pekat, waktunya pulang, saya dengan riang masuk ke rumah, duduk di sofa dan memakan kudapan sore di meja tamu. Ayah masuk ke ruang tamu, dengan muka merah padam, saya tahu suasana sedang memburuk. Senja itu,  Ayah marah besar karena saya tidak mengembalikan uang kembalian padanya, yang membuat dia marah bukan nominal uangnya atau apa pun, uang itu pasti akan ia berikan pada saya bila saya terlebih dahulu mengembalikannya, yang membuat dia marah adalah saya mengambil sesuatu yang belum menjadi hak saya. Terngiang selalu kata-katanya saat itu “kita orang Tionghoa, kalau tidak jujur dalam uang, apalagi yang bisa diandalkan, tidak ada seorang di dunia yang mau kasi kerjaan atau berbisnis dengan orang curang”.

 Ayah adalah orang yang menjunjung tinggi kejujuran, terutama dalam hal keuangan, itu adalah pelajaran keras yang juga kakek turunkan kepadanya. Pernah saya mendengar cerita teman kerjanya sewaktu menjadi sales rokok, ayah jauh-jauh bersepeda motor untuk mengantar uang kembalian yang kelebihan dari penjual makanan.

Sore itu adalah hari terakhir saya mendapat uang kembalian membeli rokok. Ayah menghukum saya selamanya atas satu ketidak-jujuran. Itu pelajaran berharga dalam hidup yang selalu terpahat dalam benak. Ayah tidak pernah banyak menasehati saya tentang kehidupan, dia hanya menekankan saat bekerja atau berbisnis, walaupun orang di sekitar curang, jangan pernah bemain curang. Kejujuran adalah harga mati.

Jujur, selama kuliah, saya sempat melupakan nilai-nilai itu, aktif berinteraksi dengan organisasi kampus yang mengaku eksekutif, atau kumpulan pemuda dengan semangat revolusi yang membela rakyat, saya malah akrab dengan mark up dan korupsi uang kemahasiswaan dari kampus untuk kepentingan kelompok sendiri. Sampai akhirnya saya tersadar dan perlahan menarik diri, saya sakit bukan karena menghianati kampus, saya sakit karena mencabik-cabik integritas diri sendiri.

Sampai ketika saya lulus, dan mendapat pekerjaan pertama, ayah menelepon dan berpesan “jadilah orang jujur, walau seratus rupiah harus kamu kembalikan bila memang bukan hakmu, orang kaya butuh orang pintar, tapi mereka lebih butuh orang jujur”.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?