Echo Beach : Fusi Selendang Pasir Hitam dan Tarian Ombak



Terletak di sudut Canggu yang penuh hamparan sawah, Echo Beach menawarkan tarian ombak unik yang mengajak surfer berdansa. Pasir hitam lunak memanjakan tubuh yang merebah. Destinasi yang ramai namun tidak riuh.

Semua foto diambil menggunakan kamera HP Smartfren Andromax T, 2 MP.


Matahari mulai melunakan kegarangan sinarnya ketika motor yang saya kendarai melaju kencang di atas jalan beraspal mulus yang membelah hamparan sawah nan laksana karpet hijau raksasa. Indra penciuman mulai menghidu bau garam dari angin yang berkejar-kejaran riang, isyarat laut sudah dekat, tanda Echo Beach dengan ombak bergelung dengan pasir hitam akan segera nampak di pelupuk mata.  



Pernah mendengar daerah Canggu? Daerah ini menghadirkan banyak pantai yang selalu membuat saya ingin selalu datang dan datang lagi selepas jam kantor, salah satunya adalah Echo Beach ini. Saya hanya perlu melahap 20 menit perjalanan dari kantor untuk menjejak di pasir lembutnya, lama perjalanan yang tidak jauh berbeda bila kamu berangkat dari Kuta.




Memasuki parkir motor, saya sudah menyaksikan barisan motor-motor khas yang digunakan surfer, terdapat pengait di sisi kiri untuk menaruh surfboard mereka, motor yang membawa mereka beach hopping untuk sekedar berdansa dengan setiap ombak yang bersedia datang. Berjalan sedikit ke dalam, barisan toko-toko peralatan dan appareal surfing menarik mata untuk berkunjung dan menggoda tangan untuk merogoh kantong dalam-dalam. Namun, ada yang lebih menggoda, wangi barbeque semerbak menggoda perut yang penuh sekalipun untuk terus memampatkan muatan.



Echo Beach tidak sepopuler Pantai Kuta, wisatawan lokal barangkali jarang yang mau menyisihkan waktu untuk menyambangi pantai ini. Namun, di antara para surfer, ombak di pantai ini menjadi yang patut diajak berdansa. Karakter ombak yang ditawarkan nampaknya tidak layak untuk surfer pemula, sehingga kamu sebaiknya jangan nekad untuk belajar surfing di sini. Ketidakpopulerannya mungkin yang melejitkan Echo Beach jadi pilihan banyak pejalan mancanegara untuk berkumpul di sini. Tidak ada penjual aksesoris, tukang pijat dan penjual makanan ringan yang sepanjang waktu menawarkan produk dan jasanya seperti di Pantai Kuta. Siapa yang bisa bersantai dengan tenang di kondisi seperti Pantai Kuta?



Saya menggelar handuk yang dibawa dari rumah lalu mengeluarkan bekal yang tadi dibeli di jalan, Satu botol besar bir dingin dan biskuit oreo. Setelah seharian bergulat dengan angka di layar komputer, sekedar memejamkan mata untuk mendengar deru ombak dan meresapi elusan angin sudah lebih dari  cukup untuk membahagiakan hati. Tidak jauh dari “sarang” saya, seorang perempuan asyik membaca buku sambil sesekali meminum jus jeruknya, Jjuga sepasang suami-istri sibuk bermain pasir dengan anaknya yang masih kecil. Anjing-anjing lari berkejar-kejaran memperebutkan mainan baru mereka, saat mulai bosan mereka berenang menerjang ombak, lalu kembali bermain lagi. Pengunjung yang berenergi lebih memilih untuk jogging dari sisi terbarat menuju sisi tertimur, melihat tubuh mereka yang kencang berisi menjadikan saya malu melihat perut sendiri.





Ombak besar menghempas, ia menghapus lubang dan jejak di pasir pantai yang diciptakan manusia. Terkadang, saya ingin dihantam ombak besar, siapa tahu ia juga bisa menghapus luka dan kenangan yang membekas dalam hati. Siapa tahu setiap diterjang ombak saya jadi manusia baru. Siapa tahu setelah masuk air saya menjadi lebih ganteng seperti yang terjadi pada Subali dan Sugriwa dalam legenda Ramayana.  Namun, kita semua tahu, saat diterjang ombak kita akan menjadi basah, kita juga tahu itu malapetaka bila kita tidak membawa baju ganti. Karena alasan itu juga saya mengurungkan niat untuk menerjang ombak dan lanjut merebahkan diri. Ahh Saya jadi teringat kutipan di suatu buku yang saya baca sewaktu SMA, “ If you choose the simple things and find joy in nature’s simple treasures, life and living need not be so hard”.


Karakter karang di Echo Beach lumayan unik, beberapa nampak seperti pulau-pulau kecil, dari koloni karang tersebut saya kira awalnya merupakan satu karang besar, yang seiring waktu terburai dihantam ombak dan dihajar angin. Kita masih bisa berjalan di atas karang-karang itu, di beberapa sisi malah terbentuk cerukan-cerukan yang memerangkap ikan di sana. Anak-anak berambut pirang asik mengamatinya. Ketika mereka ingin mengambil ikan tersebut, orang tua mereka melarang dan menasehati mereka bahwa ikan tersebut lebih baik di sana dan menghiasi karang, dari pada ditangkap dan mati sia-sia. Saya suka mendengarnya, pelajaran tentang konservasi memang seharusnya dimulai dari usia dini juga terhadap hewan sekecil apapun yang nampaknya tidak berarti.



Tidak jauh dari barisan pertokoan, berdiri kokoh pura yang menghadap ke laut, sesuai konsep Tirta dalam kepercayaan Hindu, maka pura sebaiknya didirikan di dekat air seperti sungai, danau atau laut. Seperti semua tempat ibadah, setiap orang boleh masuk untuk berdoa, tapi tentu saja harus menaati sopan santun yang berlaku. Untuk masuk pura kita harus menggunakan pakaian adat, selain itu perempuan yang sedang datang bulan dilarang keras untuk masuk. Di halaman pura, terlihat banyak bekas sesaji dan beberapa persembahan yang masih baru. Hal itu lumrah karena kemarin, umat Hindu Bali merayakan Hari Saraswati, yaitu hari ilmu pengetahuan, saya yanh tidak merayakan ikut kecipratan liburnya. Di hari itu, semua sumber ilmu seperti lontar, kitab-kitab kuno sampai buku pelajaran didoakan supaya terus memberi manfaat, serta umat Hindu puasa belajar dan pantang membaca apapun.



Membaca juga ternyata perlu energi , setelah saya lahap dua bab buku yang saya baru beli kemarin, “Sejarah Bali: Dari Pra Sejarah Hingga Modern”, perut jadi minta diisi dengan yang enak-enak, tapi kantong memperingatkan supaya yang enak-enak itu juga harus yang murah-murah. Kepulan asap dari kerumunan tenda di ujung pantai menarik perhatian mata. Setelah berjalan kurang lebih 200 meter tibalah saya di Echo Beach Fish Market. Di tempat ini kamu bisa memilih segala hidangan laut yang masih segar hasil tangkapan nelayan. Kita bisa memilih mahluk-mahluk laut itu mau digoreng, dibakar, dibumbu spesial atau dipandangi saja. Saya mengambil pilihan terakhir daripada kulit berubah jadi seperti personel Fantastic Four. Harga makanan di sini tidak terlalu mahal (untuk bule), di range 50.000-150.000, sebenarnya ada yang seharga 15.000, yaitu nasi putih + kecap sambal ikan bakar, tanpa ikan. Bila kamu penggila hidangan laut maka bersantap di sini sambil mengagumi matahari terbenam bisa jadi pilihan berlibur yang berkesan.



So, apalagi yang kamu tunggu? Kemas tasmu, cari tiket dan berangkat ke sini. Seperti kata Oom Ray Bradbury, “See the world. It's more fantastic than any dream made or paid for in factories. Ask for no guarantees, ask for no security.”

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati