Menera Jalur Sutera Songan - Abang - Trunyan
But the beauty is in the walking -- we are betrayed by destinations.― Gwyn Thomas
“ini bukan pendakian, ini bedol desa” ungkap Westi yang
disambut tawa timnya. Siapa timnya? Siapa lagi kalau bukan Saya dan Asong.
Setelah seminggu yang lalu di Puncak Gunung Batur kami berdiskusi tentang bagaimana
kira-kira situasi di pepuncak yang membentang di hadapan, yang hanya
dibatasi bentangan danau kintamani,
tidak ada yang menyangka sebelumnya malam ini kami akan menjajal pepuncak itu.
Sayang sekali, karena alasan siklus bulanan, promotor setiap pendakian kami,
rara, tidak bisa ikut.
Kenapa Westi bisa menyebut ini bedol desa? Mungkin untuk
pertama kali dalam hidupnya ada beragam komunitas yang mengikuti pendakian yang
diadakan untuk merayakan hari jadi Komunitas Magma Adventure ini. Sebut saja tim yang masih saya ingat namanya
mulai dari BPI Regional Bali, Parkour Bali, Melaligen, Green Pegasus dan tentu
saja Magma sendiri.
Sedari sore, kami beramai-ramai berangkat menggunakan motor
dari starting point di markas Magma Adventure di sebelah Bali Art Center,
selepas melewati beragam kejadian yang mendera peserta sekitar pukul 21.00 WITA
kami tiba di Pura Ulun Danu, Songan, Kintamani, yang menjadi gerbang pendakian.
Ketika melintasi trek awal pendakian, saya merasa ini tidak
bisa disebut pendakian ceria. Bagaimana tidak, jalurnya sempit, curam dan
diapit hutan lebat. --Sebagai pendaki pemula saya merasa takut dan ingin
memeluk pohon #lupakan – Kesan itu berubah setelah berjalan selama dua jam,
trek membawa kami ke jalan beraspal yang
bisa dilewati mobil. “ini sih namanya Tjuaaannndaaaa....” celetuk Ryan, seorang
pejalan yang berasal dari Tana Toraja.
Meski trek selanjutnya bersahabat, menyusuri jalan pedesaan,
tetap saja angin berhembus tidak cukup ramah. Keadaan menjadi serba salah bagi
sebagian peserta, tubuh basay kuyup berkeringat jika mengenakan jaket, tapi
menggigil kedinginan bila menanggalkannya. Saya memilih untuk tetap mengenakan
kaos tipis sedari di base camp karena tubuh akan tetap hangat meski dihempas
angin malam asal terus bergerak.
Teringat kata seorang kawan “mendakilah bila kamu sedang
patah hati”. Asong nampaknya sedang resah karena Zoma, pejalan cantik dari
jerman yang menemani Asong berpetualang di gunung-gunung Jawa tengah, akhirnya
pergi untuk menyelesaikan perjalanannya sendiri. Sepanjang jalan Asong
bercerita pada Westi tentang petualangannya bersama Zoma. Sepanjang jalan ada
nada kelu muncul setiap nama perempuan itu disebut.
Terganggu oleh kehadiran orang-orang asing di daerah mereka,
anjing-anjing kintamani menyalak-nyalak tanpa henti pada kami. Seperti bensin
yang dituangkan pada api, salakan kecil memicu salakan seluruh anjing yang
mendiami rumah di sepanjang desa. Anjing Kintamani memang lucu, dengan bulu
tebal dan wajah seperti serigala, namun sifat alaminya untuk menjaga daerah
teritorialnya membuat ia cukup bisa diandalkan untuk menjaga rumah. Jadi
terbersit keinginan untuk mengadopsi kintamani puppy.
Di penghujung desa, lagi-lagi trek menanjak memutar,
diiringi bunyi gesekan rumput kering yang ditarikan angin dan bintang yang
laksana semburat percik susu, kami berjalan terus dalam keheningan, menjajaki
bukit yang hutannya habis digantikan ladang. “Kok ngga nyampe-nyampe, ini sih
namanya Tjuaaannndaaaa....” keluh Ryan. Dan jangkrik terus mengerik.
Dari sisi bukit yang terbuka Danau Kintamani terlihat, ia bening memantulkan cahaya
bintang. lampu-lampu dari bangunan yang mengepung danau juga mempercantik suasana. Kami tidak bisa
berhenti lama dan terus berjalan menanjak sampai menemukan pura dan tanah
lapang yang cukup luas tepat di atas bukit. Di area ini kami akan membangun
tenda dan beristirahat sebelum esok melanjutkan perjalanan lagi.
***
Pagi tiba dengan sangat cepat, bukan...bukan... kami yang
tidur terlalu larut sehingga hanya sempat terlelap sejenak hingga matahari kembali
berkunjung. Pagi diawali dengan
aktifitas mengagumi diri sendiri dan mengabadikan kemudaan sebelum waktu
menggilas cepat. Setiap orang sibuk dengan kamera masing-masing. Seorang
perempuan lucu menggunakan monopod “tongsis” untuk berfoto dengan teman-temannya.
Sepasang kekasih asyik selfie dengan ponser pintar selebar kalkulator.
Tripod-tripod terpasang sempurna untuk mengabadikan citra individual maupun
komunal.
Dari puncak Songan, Gunung Agung yang puncaknya dikepung
awan terasa sangat dekat. Di timur, selat lombok merah keemasan memantulkan
cahaya pagi. Danau Batur pun menguarkan embun yang sepanjang malam mendekam.
Seharusnya ada keheningan yang menentramkan, namun karena semua peserta sibuk
bergurau, kemewahan alam itu jadi menguap.
Tak lama, selepas matahari terus terasa memanas,
semua segera berkemas.
Jalan setapak membawa kami melintasi perkebunan warga. Di
lereng-lereng tajam tumbuh palawija seperti jagung, kacang-kacangan, cabai juga
tomat. Namun, saya tidak melihat ada petani yang menjaga ladangnya, hanya anjing
yang berkeliaran di sana. Lagi pula, siapa orang nekat yang rela mendaki gunung
cuma untuk menjarah hasil kebun.
Trek terus memutar dan tiba-tiba menurun tajam, keluar dari
balik pohon-pohon kering dan ilalang kami langsung disajikan pemandangan Danau
Batur yang permukaannya biru kehijauan. Mungkin orang Bali jenuh melihat Batur
karena selalu dinikmati dari sisi yang sama, sama seperti yang kemarin saya
rasa. Namun, bukan tempat yang menjadi masalah tapi cara pandang kita. Mungkin
para pengunjung rutin Danau Batur akan jatuh cinta kembali dari tempat ini. Sama seperti seorang lelaki
yang jatuh cinta lagi karena perempuannya mengubah potongan rambut.
Kondisi lintasan
berubah, kini kami menyusuri punggungan sempit, di sisi kiri jurang dan sisi
kanan danau, ketegangan yang membuat perjalanan ini menyenangkan. Tebing yang
tersusun dari batuan vulkanik memiliki bentukan unik membawa imajinasi semakin
liar. Angin sepoi-sepoi meringankan tubuh yang panas berkeringat karena mesti
bekerja ekstra.
Matahari tepat di atas kepala, sampai bayangan tubuh tampak
lenyap tak bersisa, saat itu juga kami memasuki perkampungan warga. Rumah-rumah
mereka sederhana terbuat dari bahan-bahan yang disediakan alam, walaupun
atapnya sudah terbuat dari seng. Penduduk mengamati kami dengan seksama,
mungkin karena jarang ada pejalan, apalagi dalam jumlah besar, yang melintasi
desa mereka. Sambil menunggu matahari undur diri dari derajat tertinggi, kami
membuka perbekalan dan mengisi air di botol yang meniris.
Tubuh pendaki tidak seperti pelari, tubuh pendaki seperti
mesin diesel, bertenaga tapi tidak gampang panas. Setelah lama beristirahat,
pantat terasa berat untuk berangkat. Mata terus ingin terpejam sambil
melanjutkan khayalan. Memakai sepatu dan berkemas terasa pekerjaan yang
menyebalkan. Namun kaki harus terus melangkah untuk bisa sampai ke Desa
Trunyan.
Jalan mulai semakin ramah, jika sepanjang jalan tadi penuh
tanjakan dan tikungan curam, kini jalan mulai menurun walaupun tetap saja
curam. Danau Batur itu manis, bukan cantik, semakin dipandang dari sisi berbeda
semakin muncul pesonanya, bukan dilihat untuk dikagumi lalu jadi membosankan.
Sepanjang jalan tak henti-hentinya memori menyimpan citra danau ini. Andai punya
cadangan baterai yang cukup, ingin rasanya kamera ini dipaksa merekam setiap
sudutnya.
Di punggungan terakhir, desa Trunyan sudah nampak jauh di
bawah. Rumah-rumah, pura dan lapangan membentuk pola yang khas tata letak desa
Bali. Keramba-keramba mengapung di danau dan kapal hilir mudik membawa pengunjung
ke Pekuburan Trunyan yang legendaris. Kami sudah hampir tiba di destinasi.
<3
ReplyDeletecantiiiikkkkk...
ReplyDeleteAh Rio gak ngajak ngajak
ReplyDeleteRio, sepertinya aku harus banyak berguru kepadamu perihal pendakian dan hal-hal yang berkaitan dengan mendaki gunung. *sungkem* :)
ReplyDeletei read your blog and get inspired - thanks.
ReplyDeleteif you like take a look at: www.mountains-of-bali.info
chris
Jadi kepengen sekali, bisa minta info treknya bro? Suksume
ReplyDelete