Pulau Bungin - Kisah Daya Juang di Lahan Kritis -


“But in the end one needs more courage to live than to kill himself.”
― Albert Camus



“Kambing di Pulau Bungin itu makan kertas lho” cerita ibu Arif ketika kami asik bersantai di depan rumahnya sambil menunggu pejalan lain yang mungkin datang untuk berbagi biaya sewa kapal. Dua hari kemudian selepas kembali dari Pulau Kenawa dan segera melanjutkan perjalanan off-road ke Desa Mantar, kami memutuskan untuk menutup hari dengan mengunjungi Pulau Bungin.



Perjalanan menuju Desa Bungin melewati jalan lintas provinsi sendiri sudah menghibur mata. Bukit-bukit cadas menjulang mengapit jalan hot mix yang masih mulus. Kebun-kebun juga mengerubuti tepi jalan. Sapi-sapi yang asyik berendam di kubangan lumpur memandang kami curiga. Asong memutar gas kencang-kencang hingga angin seperti menampar wajah juga menjambak rambut yang baru tumbuh.



Berdasar petunjuk warga, jalan menuju Pulau Bungin itu di sebelah kiri dekat masjid dan menara. Kami segera keluar jalan raya ketika menemukan pertigaan yang dituju. Melewati perkampungan warga, membawa kami merindukan suasana rumah. Di sepanjang jalan yang dibentuk dari pasir dan batu kerikil, anak-anak riuh bermain bola sedangkan yang mulai remaja beradu ketangkasan bulu tangkis memanfaatkan talenan sebagai raket. Ibu-ibu berkumpul di depan rumah sambil memotong sayur dan mengupas bawang. Lelaki-lelaki dewasa berjalan kaki pulang membawa jaring selepas melaut. Beberapa yang sudah mandi rapi-jali mengenakan sarung untuk beribadah.

 

 Pulau Bungin seperti kumpulan padat rumah-rumah di tengah laut dilihat dari kejauhan. Kami tiba di gerbangnya seiring matahari sudah jauh di barat namun belum tenggelam. Anak-anak berseragam sekolah memandangi kami dengan penasaran saat kami berfoto di depan gerbangnya. Asong memanfaatkan rasa penasaran mereka dengan mengajak foto bersama.

 

Hal yang pertama kami cari waktu melewati gerbang masuk adalah kambing. Iya, kambing, kami ingin membuktikan dengan kepala sendiri kambing-kambing itu makan kertas. Sayangnya kami lupa membawa kertas, akhirnya Asong merelakan uang lima ribu rupiah sebagai pakan pancingan. Namun, berulangkali kami mengejar kambing-kambing supaya memakan uang tetap tidak juga membawa hasil. Kami mulai putus asa.



“Mungkin sore begini, kambing-kambing itu sudah kenyang” Saya coba menghibur Asong.


Sambil meratapi nasib, kami kendarai motor berkeliling desa. Pulau Bungin benar-benar padat, sampai saya tidak lagi menyaksikan ada space kosong untuk bisa membangun rumah. Setiap rumah berbentuk panggung juga berukuran mungil dan terlihat diisi banyak penghuni. Selain padat oleh manusia, perkampungan juga diricuhi kambing-kambing di sepanjang sudut. Pada awalnya pulau ini hanya berbentuk gugusan karang maka tidak ada rumput yang bisa tumbuh. Dulu, pemiliknya harus mengambil rumput dari daratan menggunakan perahu, mungkin karena persediaan pakan terbatas dan kambing hobi ngemil maka hewan beraroma khas itu mulai beradaptasi dengan memakan sampah-sampah kertas. Siapa yang tahu?

 

Penduduk Desa Bungin bekerja sebagai nelayan. Mereka berasal dari Suku Bajo dan beberapa suku di pulau Sulawesi. Tanpa ada persediaan air di pulau tersebut, dulu mereka harus sering-sering mengambil air bersih menggunakan perahu ke daratan. Sampai beberapa tahun lalu, investor atau dermawan berkewarganegaraan Jepang mendanai pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Bungin dengan daratan. Itu sebabnya kami bisa menggunakan motor menuju desa ini. Akses pendidikan untuk anak-anak jadi lebih mudah, mereka bisa berjalan kaki menuju sekolah, seperti yang kami saksikan di sepanjang perjalanan.

 

Ada yang unik dari kebiasaan penduduk di desa ini. Menurut cerita Pak Burhan yang menghampiri kami ketika asyik mengejar kambing, pemuda di desa ini harus mengumpulkan batu yang cukup banyak bila ingin menikah. Buat apa? Batu-batu itu dipergunakan untuk fondasi rumah yang akan didirikan di atas air tepi pantai. Sudah tidak tersedianya lahan di pulau ini membuat mereka harus menginvasi lautan sebagai tempat tinggal. Sehabis batu-batu dan bahan lain untuk membuat rumah terkumpul, warga akan gotong royong membangun rumah calon pasangan tersebut. Di tempat paling kritis manusia bisa tinggal, di tempat paling kritis juga manusia sadar tidak bisa hidup sendiri.

 

Mendekati gelap, Pak Burhan membuktikan jika kambing di Pulau Bungin makan kertas. Ia meminta kardus air mineral ke warung terdekat dan memanggil beberapa kambing ke pekarangan rumahnya. Dalam sekejap, kardus tersebut sudah dicabik dan dilumat oleh kambing-kambing gemuk tersebut. Dalam hitungan menit, kardus tebal lenyap tanpa jejak. Dari situ saya menyimpulkan, kambing di Pulau Bungin tidak makan kertas, mereka makan kardus.

 

Saujana meredup beriring warna jingga, puas melihat kambing makan kardus, kami mohon undur diri pada Pak Burhan. Sambil melintasi jembatan, kami memandangi rinjani di seberang lautan berdiri anggun dalam remang cakrawala. Dalam hati terngiang-ngiang kata Charles Darwin “It is not the strongest or the most intelligent who will survive but those who can best manage change.”

Comments

  1. Klo ga salah pernah masuk tv deh duluuuuuuuu banget, jaman masih kuliah antara 2007-2010 lah hehehe CMIIW

    ReplyDelete
  2. ya ampuuunn kamning nya jujur amat, ga mau nerima suapan berupa uang bwahahahahaaa... sumpah gw ngakak riooo bwahahaha...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati