Kemping Ceria Bukit Tegalwangi





“No man can see himself unless he borrows the eyes of a friend”
― Colin Higgins

Malam itu cerah cenderung gerah. Edna sudah menyerah memaku pasak tenda setelah yang terakhir malah bengkok. Serampung ditali dan dipasak apa adanya tenda akhirnya siap, tegak tapi tidak sempurna. Berdiri di atas Bukit Tegalwangi Jimbaran yang dibentuk oleh kapur dan karang, dengan pemandangan langsung ke laut selatan serta dari jauh nampak lautan cahaya dari hotel di pesisir pantai, kami terpikat untuk merenung berlama-lama.

Saya, Edna dan Westi tiba lebih dulu. Sedari siang kami bimbang apa jadi berkemah di sini atau batal. Tidak semua orang bisa masuk area ini. Di menit-menit terakhir izin turun dan kami bisa masuk. Tidak heran, Westi adalah arsitek yang merancang banyak proyek perusahaan pengembang yang memiliki bukit ini, sehingga semua birokrasi panjang bisa diselesaikan. Bila izin tidak keluar, Plan B adalah berkemah di Pulau Serangan.

Ini pertama kalinya Edna ikut berkemah dengan kami. Sebelum malam semakin pekat ia sudah mengumpulkan kayu untuk dijadikan api unggun. Dengan bantuan spiritus dalam hitungan menit api sudah menyala besar dan bayang-bayang gundukan kotoran sapi di mana-mana jelas terlihat. “Orang memang tidak boleh sembarangan masuk area ini, tapi sapi bisa” ungkap Westi datar sambil terus merebus ayam fillet yang akan jadi bahan untuk makan malam kami.

Sesaat nyala lampu motor menerangi jalan masuk ke area ini. Tiga motor berderu halus melaju beriringan menuju tenda. Akhirnya Rara, Asong, Nanda dan Ndonk tiba dengan sedikit bersusah payah. Ada seorang yang asing juga ikut turun dari motor Asong, “hallo i am Annie, nice to meet you”, ia memperkenalkan diri. Perempuan berusia 19 tahun dari Kaiserlautern Jerman itu adalah teman Asong, mereka bertemu di media sosial pejalan, Couchsurfing. Ia datang ke Bali dalam rangka trip round the world, sebelumnya perempuan yang sedang bingung memilih jurusan kuliah itu sudah berkeliling Asia timur dan tenggara.



Setelah di Pantai Nyang-Nyang kemarin menu kami hanya ayam saus asam manis + gorengan + nasi, kami berharap malam ini bisa lebih bervariasi. Selepas Nanda, Edna dan Westi berdinamika dalam menentukan rasa yang tepat akhirnya mereka berhasil menghidangkan ayam saus asam manis (lagi) dan ayam teriyaki kecap. Tidak lupa aneka gorengan dan nasi yang tadi sore dibeli dalam perjalanan. Seperti kemping ceria kemarin, rasa nikmat bukan karena keandalan mereka meracik bumbu, semua berkat bumbu instan yang siap tuang. Dua arsitek dan seorang engineer itu hanya menambah gula, garam, sayur dan bawang.

Jesse Browner pernah menulis: “eating, and hospitality in general, is a communion, and any meal worth attending by yourself is improved by the multiples of those with whom it is shared. Makanan enak jadi tambah enak saat dimakan bersama-sama, apalagi saat lapar. Selepas tuntas menggasak semua menu kami sama-sama berpikir makanan ini enak karena memang enak atau karena dimakan rame-rame atau karena kami lapar atau karena gabungan ketiganya. Tidak ada dari kami yang berhasil merumuskan jawaban yang memuaskan.

Malam semakin larut, siluet pohon kapuk, pohon lamtoro dan pohon intaran yang berdiri mengitari tenda tampak menari dibelai angin. Bulan separuh sesekali muncul dari awan tebal. Ndong mengecek kamera yang sedari beberapa jam lalu terpasang, mukanya berseri, time lapse yang sudah dia rancang nampaknya berhasil. Beberapa jam lalu terjadi perceckcokan tentang siapa yang salah tidak mematikan action camera GoPro sehingga baterai habis sebelum digunakan, Nanda akhirnya mengaku salah. Untungnya, time lapse Ndong meredakan kekecawaaan kami. Semua setuju, liburan tanpa photo itu hoax, seperti gubernur baru Jakarta versi FPI.

Apa yang kamu cari saat berkemah? Saya mencari percakapan. Buat saya, tidak ada yang lebih menyenangkan selain percakapan hangat antar teman di malam hari dengan cahaya api unggun. Biasanya, semakin malam obrolan semakin absurd, namun di momen itu juga biasa muncul ide-ide, kegelisahan juga keinginan terpendam dari setiap pribadi. Apalagi dibantu dengan rasa ngantuk, pasti tambah tersesatlah arah percakapan.

Kami menyanyi bersama-sama. Kali ini Asong meninggalkan biola dan membawa gitar. Musik bisa menyatukan semua bangsa, Annie yang sepanjang malam lebih banyak diam mendengar kami yang berbicara menggunakan bahasa jawa ngoko kini ikut menyanyi. Tidak usah heran, Ndong membawakan lagu-lagu Coldplay, Queen, Oasis, Radiohead sampai dangdut koplo. Lewat tengah malam lirik yang keluar semakin absurd. Sampai kami semua tertidur beralas tanah beratap langit. Tenda malah kosong tak berpenghuni.

Saya tidak menyangka bisa melihat matahari terbit saat bangun tidur, ternyata lokasi bukit ini berada agak ke timur dan tidak terhalang dataran tinggi lain. Semua bangun cukup awal, bukan karena mereka rajin, tapi panas terik seperti menyengat lebih awal. Di bawah, rerumputan kering meluas dibelah jalan yang berkelok. Peselancar nampak seperti semut merubuti ombak putih yang menggulung.



Edna dan Rara sudah memasak sup vegetarian sehat kurang garam untuk Asong dan Annie. Sedangkan saya dan Nanda menggoreng rolade untuk bahan sandwich. Sementara yang lain berkemas-kemas tak berapa lama setelah mata terbuka.

Selepas makan pagi sandwich rollade kami cepat-cepat mengemas yang tersisa, dalam benak sudah tidak sabar ingin minum bir dingin di restauran tepi pantai Jimbaran rekomendasi Westi. Seperti acara berkemah akhir pekan di tepi pantai lainnya, memberi malam yang berkesan kemudian diiringi bangun minggu pagi yang tergesa-gesa. Setelah berfoto kami segera beranjak pergi meninggalkan gundukan-gundukan kotoran sapi kembali dalam sepi.

Comments

  1. Rio makin piawai merangkai kata-kata euy. Enak bacanya. Eh gua kapan terakhir camping yah? Udah lama banget deh kayanya :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati