360KM Pertama


#011

lanjutan dari post Menengok Jepara Selepas Kartini

Suasana rumah-rumah berkelabat cepat, sebagai pengemudi saya tidak bisa terlalu lama mengalihkan pandangan ke luar kaca depan, jam tangan lusuh menunjukan pukul 16.50, tak lama kami melintasi kolong gapura jalan pertanda memasuki kota Tuban.

Pemandangan sepanjang pantai utara yang sangat baru bagi mata, membuat waktu enam jam menggenggam kemudi tidak terlalu terasa. Memang kulit bokong rasa-rasanya menjadi tebal berlapis, serta rasa agak nyeri pada pinggang mulai terasa, namun ada kepuasan tersendiri bisa mengemudi sampai tempat ini.

Menyusuri pantai utara, berdua, dari jepara sampai tuban seperti mengulang kembali cerita-cerita dalam sejarah. mulai dari kedatangan laksamana Cheng Ho di Lasem, penyebaran sejarah oleh wali songo di pesisir, inisiasi pendidikan perempuan oleh R.A. Kartini di Rembang. Semua cerita itu seakan menjadi nyata saat saya benar-benar melintas di lokasi perkara.

Jam sebelas siang mobil kami beranjak dari Jepara. Sepanjang perjalanan berteman mobil-mobil keluarga yang melaju tergesa-gesa, berpacu dengan bus-bus pariwisata nan ceroboh, juga berlari gesit melihat celah di antara truk-truk yang lelah. Saya menikmati sensasi pertemuan dengan mereka. Di satu titik saya menyadari pekerjaan sebagai supir itu mulia, menuntut konsentrasi dan stamina prima, untuk menjaga banyak nyawa dalam setiap manuvernya.

Walaupun kebisuan sering hadir di antara kami berdua, namun, kami tidak pernah merasa sepi. Lanskap-lanskap alami sampai artifisial selalu mendorong jiwa untuk memunculkan tanya. Mata tak pernah lelah memirsa karya cipta manusia: rumah-rumah sederhana sampai yang jumawa, ladang garam, tambak ikan, sarang walet, perkampungan nelayan, SPBU baru nan sepi, pabrik biasa sampai yang raksasa, sawah pasca panen. Mata selalu terpana memandang karya ibu bumi: hutan menghijau, bukit-bukit tergerus angin, lautan berjalin gelora ombak perkasa, awan-awan kelam di langit pekat bergantian dengan panas mentari meraja.

Saya sejenak meregangkan otot di taman pesisir pantai di depan vihara yang konon salah satu yang terbesar di Asia tenggara. Angin laut utara sedang tidak ramah bagi setiap orang yang bergantung padanya. Rambut saya yang selalu alfa dari kata tertata, makin berkobar-kobar bangga. Di Lasem saat kami berhenti sejenak untuk mencicipi sirup kawista, tidak sengaja saya mencuri dengar obrolan nelayan yang asyik berkisah, tentang berhenti melaut karena ombak yang kian marah. Di rembang saat kami sejenak membeli pelepas dahaga di salah satu toko waralaba, kami juga menyimak kisah tentang nelayan yang tidak lagi pulang karena bersatu dengan laut jawa.

Malang masih cukup jauh dari jangkauan, masih harus berjumpa pada Gresik, Surabaya dan Sidoarjo. Namun, melihat sudah sejauh mana saya mengemudi, saya mengizinkan hati untuk sejenak berbangga diri.

1 Minggu lalu di stadion Maguwoharjo, Yogyakarta.
“pertama injak kopling, pindah ke gigi satu, lalu angkat pelan-pelan sambil injak sedikit gas” perintah pacar saya. Saya coba instruksi itu, tetapi seperti pemula pada umumnya, tergesa melepas kopling dan terlalu dalam menginjak gas, sehingga mobil seakan terlonjak dari tanah. Setelah empat-lima kali percobaan sampai akhirnya mobil bisa berjalan perlahan.

Pelajaran masih jauh dari paripurna, kini saya harus mulai menyatu dengan kemudi, mengarahkannya ke kiri-kanan, sedikit atau jauh, bahkan memutar. Setelah segenap syaraf terbiasa dengan setiap sistem berkendara maka saya memberanikan diri untuk mencoba jalan desa di depan stadion. Antusiasme terbang ke angkasa, tak sabar maka saya bertanya “berapa jam latihan untuk bisa mahir berkendara?” jawabnya sederhana “biar jalan raya dan penghuninya yang mengujimu”.

_ _ _

Saya lupa bagaimana ceritanya sampai kami memutuskan untuk menjalankan rencana kosong di obrolan singkat sore hari, tentang roadtrip menuju bromo lewat pantai utara dan pulang lewat jalur selatan. Namun, kami benar-benar menjalaninya. Pacar saya menjadi saksi bagaimana jalan raya menempa kemahiran saya berkendara. Dia mempertaruhkan keselamatannya di tangan pengemudi pemula. Merelakan adrenalin sia-sia memacu jantung saat rem diinjak tiba-tiba atau mobil dibawa terlalu ke kiri maupun ke kanan. Tertawa lepas saat saya panik karena mobil tiba-tiba mati di tengah kemacetan pasar. 

Dan kini saya berdiri di Tuban, setelah hari kemarin mengemudi dari Yogyakarta-Jepara dan hari ini Jepara-Tuban. Di pengalaman pertama mengemudi di jalan raya, saya sudah menempuh jarak 360 kilometer. Karena itu saya berbangga diri karena masih selamat sentosa.

to be continued...

Comments

  1. Dari Jepara ke Tuban lewat Pantura? Wah, lewat depan rumahku tuh mas. Hehehe.. Btw, seru deh baca ceritanya.

    ReplyDelete
  2. belajar nyetir itu kayak belajar sepeda, ga bisa dijelasin caranya pokoknya kita tau aja.. insting aja itu kayaknya hahahaa

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati