Bukittinggi - Lubang Jepang, Saksi Bisu Kerja Paksa
Di balik Taman
Panorama yang hangat, ramah dan indah, terdapat Lubang Jepang yang kelam, menyimpan
kenangan memilukan kerja paksa, atau yang biasa disebut Romusha.
Seketika memasuki Taman Panorama, kita akan langsung
disambut Patung dua orang berseragam tentara jepang. Penunjuk mengarahkan
langkah pada tangga yang mengular ke bawah, tak lama saya tiba di mulut gua,
yang menjadi saksi sejarah pendudukan Jepang atas Bukittinggi ini. Kulit terasa
dipeluk hawa dingin dan lembab seketika saya menuruni tangga menurun. Tekanan
udara di dalam gua yang berbeda dengan di luar menjadikan angin sibuk hilir
mudik menabrak pelancong yang mengunjungi gua ini. Cahaya redup lampu neon membimbing
agar kaki tidak salah melangkah.
Di ujung jalan menurun, saya menemui persimpangan yang
mengarahkan pada ruangan-ruangan yang berbeda. Saya putuskan untuk mengambil
jalan ke kiri terlebih dahulu. Pikiran mengawang, coba merekonstruksi kegiatan
di sini. Lubang yang pengap, diisi oleh ratusan tawanan. Serta tentara Jepang yang kelelahan dan terluka,
bersembunyi karena kekalahan di ambang pintu. Yang awalnya sehat juga mengalami
kelelahan psikis karena udara yang lembab serta ruangan yang gelap. Mendengar
cerita seorang guide, bahwa dulu lorong-lorong ini tidak sebesar sekarang, maka
tambah bergidiklah saya membayangkan penderitaan mereka yang pernah tinggal di sini. Bahkan, dulu pintu masuk ke
dalam gua hanya selebar 20-40cm, sehingga hanya bisa dimasuki tentara-tentara
Jepang yang rata-rata memiliki tubuh kecil dan ramping.
Saya sempat takut, Sumatera Barat rawan gempa, bila terjadi saat kami masih di dalam, maka semua pengunjung akan terkubur hidup-hidup. Namun, kekhawatiran itu menguap setelah tahu bahwa tanah dan bebatuan di sini semakin pejal dan kokoh saat terpapar rembesan air.
Di lorong gelap sepanjang 1,47 meter ini terdapat banyak
sekali cerukan untuk berbagai macam keperluan: pintu untuk melarikan diri,
ruang penyergapan, ruang pengintaian, ruang penyiksaan, ruang siding, penjara,
dapur, ruang makan, ruang rapat dan gudang amunisi. Lubang yang didirikan ini
dibangun Jepang pada tahun 1942-1945. Bukan, bukan Jepang yang membangunnya, tapi
ribuan pekerja yang didatangkan dari
luar pulau Sumatera, seperti dari pulau Jawa. Mereka melubangi bukit ini hanya
menggunakan peralatan sederhana seperti cangkul. Teringat beberapa jurnal yang
pernah saya baca, kerja paksa sangat tidak manusiawi, mereka bekerja sangat
berat tapi dibiarkan kelaparan, sehingga biasa memakan korban yang tidak
sedikit. Saat membangun tempat penting
dan strategis, Tentara Jepang juga biasa
menembak mati pekerja yang tersisa untuk tetap menjaga kerahasiaannya.
Keluar dari Lubang Jepang, saya jadi mensyukuri hangat
cahaya matahari yang sempat saya keluhkan teriknya. Tidak lupa berdoa untuk
para pekerja paksa yang wafat supaya arwah mereka tenang dan diterima di sisi-Nya.
Lubang Jepang membawa kita untuk mensyukuri kemerdekaan yang kita alami, juga
berterima kasih pada para pahlawan yang berkorban darah untuk merebutnya.
Di bandung juga ada nih, goa jepang dan goa belanda
ReplyDelete