Posts

Showing posts from February, 2011

semeru journey part 2 : ---pendakian, adalah mengenai keragu-raguan---

Image
Untuk kesekian kalinya aku tertipu oleh jadwal KAI, bagaimana tidak, di jadwal tertulis kereta ini akan tiba di malang pukul 07.00 tapi nyatanya baru sampai pukul 09.00. kulit muka terasa tebal berminyak. Tapi teman-teman yang lain tetap tersenyum, mungkin puas akan kesabaran menunggu. Sudah beberapa bulan aku sangat ingin kesini, mengunjungi dini yang dulu kutemui di pendampingan Bhumiksara. Tapi karena ada perubahan jadwal yang tiba-tiba dari andri, semua rencana itu bubar. Mungkin lebih baik aku mengunjunginya sehabis pulang pendakian biar tidak terlalu terburu-buru. kami terus bergerak ke pasar tumpang, dengan mencarter angkot (rp.8000/org). udara malang menyenangkan, sejuk seperti bogor, tapi masih lebih sepi, sepertinya ide bagus kalau liburan berlama-lama disini, sepanjang perjalanan masih banyak kutemui orang-orang bersepeda onthel membawa sayur. Di pasar tumpang, kami bertemu dengan fikih dan elga, pasangan yang memiliki tujuan sama dengan kami. Maka ber

semeru journey part.1 : ---Sepotong gambaran K.A Matarmaja jakarta-malang---

Image
Alasan yang pasti kenapa aku sangat suka naik kereta ekonomi adalah karena harganya murah, sangat murah mungkin. Dengan keluar uang rp.35.000 dari Jakarta sudah bisa ke jogja. Seperti hari ini aku dengan andri ---kakak kelas di asrama--- dalam perjalanan menuju malang dari Jakarta hanya dengan mengeruk rp.51.000 dari kantong. Bagi sebagian orang lama perjalanan kereta ekonomi benar-benar tidak manusiawi, contohnya kami sekarang, untuk menuju malang harus menempuh 17 jam lamanya perjalanan. tapi kalau kamu mau lihat bagaimana kondisi sebagain besar rakyat Indonesia sebenarnya, kereta ini cukup mewakili. Sebenarnya dalam perjalanan ini kami tidak hanya berdua, ada sembilan orang lainnya yang akan melanjutkan 6 malam ke depan bersama-sama dalam penjelajahan taman nasional bromo-tengger-semeru (TN BTS). Mereka adalah orang-orang yang hangat walaupun baru pertama aku temui. Bersama mereka perjalanan ini tidak membosankan karena banyak cerita yang dibagikan. Dan aku yakin tidak akan pernah k

telusur lombok part.4 ---rinjani, pendakian yang 4,5 tahun tertunda---

Image
tanjakan penyesalan 04.00 nafasku tersengal-sengal bersusah payah menangkap langkanya oksigen di udara. Aku tak tahu sekarang berada di ketinggian berapa. Yang aku tahu pasti adalah sudah 4 jam lamanya aku berjalan dari pos terakhir plawangan sembalun namun belum ada setengah jalan terlewati. Jantungku memburu berbanding terbalik dengan semangatku yang menurun lesu. Aku frustasi, trek ini memang sengaja mempermainkan titik terendah batas-batas kesabaran. Rasanya ingin berhenti berjalan lalu menyerah kalah bersama kesombonganku. Aku duduk, merenung, menghayati dan meresapi angin-angin ini. Hilir mudik di sekitar. Sesekali berbisik-bisik halus melintasi kawasan terlindung jaketku. Seringkali juga mereka tertawa, mungkin menyaksikan aku yang berusaha bermain-main di tempat mereka biasa tinggal. Datang lagi orang yang kesekian dan dengan kejadian yang serupa, mereka menyapa lalu mendahului. Mencoba bersimpati dan memberi semangat padaku yang terduduk lesu di atas batuan rapuh. Sejujurny

telusur lombok part.3 ---apakah aku harus mempertanyakan segalanya?---

Image
“Apakah manusia benar-benar telah bisa menaklukan alam?”tanyaku pada bagian lain diriku. “aku rasa tidak, manusia hanya berhasil mengakali alam sekitar dengan menggunakan bagian dari alam itu untuk bertahan dari keganasannya” jawabnya. Ombak ganas berdebur pecah menghantam karang, membangunkanku dari keautisan itu. Aku berdiri di tebing tinggi pantai mawek mengagumi garis pantai yang melengkung dengan airnya yang biru. “andaikan dia ada disini berbagi cerita mengenai kehidupan itu tentu hidup tidak akan sekering ini” harapan itu datang lagi, keinginan yang direpresi. Dari ketinggian aku lihat tyaspun sedang autis dengan kamera dan tripodnya. Mencoba mengabadikan citra diri di sisa-sisa masa mudanya. “Mengapa manusia senang sekali melihat dirinya sendiri?” tanyaku. dan akupun tertawa., menertawakan dirinya dan diriku sendiri. Kudatangi tyas, dengan merayap di celah-celah batuan yang berlubang terkikis angin akhirnya aku bisa turun ke pasir yang terlalu gembur itu. ‘tyas, kira-kira me

telusur lombok part 2 ----- Tuhan maha tahu, tapi dia menunggu-----

Image
“hujan datang terlambat.. seharusnya dari bulan puasa dia sudah turun” sejenak aku terbangun kedinginan. Deru ombak bersatu dengan gemericik hujan. Kubongkar carrier untuk meraih jaket windproof di bagian atas. Sepi sekali seakan tidak ada kehidupan disini. Perutku berbunyi, segera kubongkar perbekalan tapi hanya tersisa energen sachet. kulihat sekeliling pantai, tak ada satupun yang berjualan. Aku menghela nafas, “ ya, memang sudah kubayangkan resiko bepergian di hari lebaran”. Iseng kulihat ke dalam konter. Ternyata nenek itu bangun lebih awal terlihat samara-samar sedang merapikan sajadah. Tak lama kemudian dia keluar sembari membongkar dan merapikan barang dagangannya. Setelah memasak air lalu dia membuatkan kopi untuk orang gila yang tiba-tiba datang.. iya, ternyata orang gila itu yang sempat membuat tidurku terganggu dengan hilir mudik sambil bicara sendiri. Dengan berbalut sarung kotak-kotak hitam putih khas bali dan rambut gondrong tak terurus dia tersenyum sambil menyeruput

telusur Lombok part.1---- inilah kesaksianku ----------

Image
18-09-09 “akhirnya hari ini perjalanan yang telah dinanti sekian tahun dimulai” bisikku perlahan sambil memandang keluar dari dalam Kereta ekonomi sri tanjung tujuan Yogyakarta-banyuwangi dengan tiket harga rakyat ( rp.35.000). perjalanan kali ini tidak berbeda dari yang lalu-lalu, tetap kujalani sendirian. Jam 07.30 kereta ini bergerak dari jogja , namun sampai saat ini pukul 19.00 belum juga sampai ketapang. Sudah dua kali kereta ini penuh lalu kosong kembali. Habis 3 orang yang bergantian duduk dI kursi depanku. Yang pertama turun di jombang, orang kedua turun di Surabaya dan yang terakhir ini aku sudah tak peduli dia siapa dan mau turun dimana. Banyuwangi (23.00 WIB) ‘sialan, hari begini masih saja kereta telat” aku bergegas menggotong carrier berat ini keluar stasiun, cukup muak juga aku 14 jam duduk di kursi keras kereta itu, lelah aku berdebat dan bermain dengan pikiranku. Karena aku tidak tahu medan ketapang maka memilih untuk naik becak saja menuju pelabuhan. Saat tukang b

gn.sindoro ---hanya ada waktu semalam, tidak lebih---

Image
(…………..aku memandang puncak sumbing dari ketinggian, tetap terngiang-ngiang akan janjiku dulu padanya. Aku akan kembali……aku akan……) setelah obrolan bodoh sepanjang malam dengan teman-teman lama saat di seminari. Menghasilkan ide bodoh, kesepakatan aku dan maro akan mendaki gn.sindoro hari itu juga. Pukul 03.00 kami tidur dan terbangun jam 07.00. setelah semua tugas dan kegiatan di siang hari selesai. Dengan menggunakan motor budi kami bergerak menuju desa kledung-temanggung. Pendakian kali ini benar-benar tanpa persiapan. Hanya berbekal perkiraan hari itu kemarau maka takkan hujan dan perhitungan kami akan mencapai puncak setelah mendaki tanpa henti sekitar 8 jam. Maka aku hanya membawa 1 carrier berisi baju hangat, air 5 botol, nesting, serta analog SLR Yashica FX-3 Super pinjaman dari winda lens club yang diisi dengan film Kodak Colorplus 200. sedangkan maro hanya membawa daypack yang berisi 3 botol air, roti tawar coklat 3 bungkus, energen 4 sachet dan sedikit obat-obatan. Tanpa me

Dieng, ---perjalanan "yang penting pernah ke sana"----

Image
REFLEKSI PAGI HARI Kubuka perlahan mataku. Di pagi yang tak kutahu cerah atau tidaknya. Tak ada kicau burung atau alunan lagu klasik seperi di film. Potongan-potongan perjalanan turun kemarin, sebuah mimpi buruk, Melintas berkali-kali dalam pikiran. Kucari handphone untuk memantau waktu. Ternyata dia mati lemas tak bertenaga. Di sekelilingku, manusia-manusia itu, teman-teman seperjalanan. Bergelimpangan seperti sapi-sapi kurban di penjagalan. Pulas sekali tidur mereka. Seakan berpesta dengan dirinya sendiri. Setelah menang atas keberanian untuk mati. Pendakian turun kemarin menimbulkan trauma tersendiri. Berjalan turun tanpa air tersisa. Melewati jalan-jalan yang tak bersahabat ditemani debu-debu yang memenuhi kerongkongan. 7 jam terus berjalan mendaki turun batu-batu terjal itu dengan penghliatan yang berkunang-kunang kelaparan. Terik matahari dan dinginnya kabut berganti-gantian menggoda kaki yang gemetaraan namun tetap dipaksa bekerja rodi. Kami berani untuk hidup maka sekarang kami