Gunung Kerinci - Badai di Rumah Harimau
Mountains are not Stadiums where I satisfy my ambition to achieve, they are the cathedrals where I practice my religion. -Anatoli Boukreev- “Kenapa kita mendaki?” tanya Arfa sambil menunduk terengah-engah. Tidak ada seorang dari kami yang menjawab pertanyaan retoris itu. Jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, baru dua jam perjalanan. Kaki mulai terasa pegal dan nafas rasa-rasanya hampir habis. Bukan treknya yang berat, hanya fisik kami yang sudah lama tidak dipakai mendaki. Setelah sekian lama vakum, kini dipaksa menyusuri Gunung berapi tertinggi di Indonesia ini. Bagaimana seluruh rangkaian daging dan otot ini tidak menjerit dipaksa bekerja keras. Sejak pukul 09.00 WIB kami sudah mulai meninggalkan pos pendakian Kersik Tuo menuju Tugu Harimau. Dari sana, kami menumpang truk sayur menuju Tugu Gerbang Taman Nasional Kerinci-Seblat. “Gila, ladang sayur sudah jauh menembus taman nasional, kalau terus dibiarkan lama-lama hutan ini bisa habis juga