Posts

Showing posts from April, 2014

Gunung Kerinci - Badai di Rumah Harimau

Image
Mountains are not Stadiums where I satisfy my ambition to achieve, they are the cathedrals where I practice my religion. -Anatoli Boukreev- “Kenapa kita mendaki?” tanya Arfa sambil menunduk terengah-engah. Tidak ada seorang dari kami yang menjawab pertanyaan retoris itu. Jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, baru dua jam perjalanan. Kaki mulai terasa pegal dan nafas rasa-rasanya hampir habis. Bukan treknya yang berat, hanya fisik kami yang sudah lama tidak dipakai mendaki. Setelah sekian lama vakum, kini dipaksa menyusuri Gunung berapi tertinggi di Indonesia ini. Bagaimana seluruh rangkaian daging dan otot ini tidak menjerit dipaksa bekerja keras.   Sejak pukul 09.00 WIB kami sudah mulai meninggalkan pos pendakian Kersik Tuo menuju Tugu Harimau. Dari sana, kami menumpang truk sayur menuju Tugu Gerbang Taman Nasional Kerinci-Seblat.   “Gila, ladang sayur sudah jauh menembus taman nasional, kalau terus dibiarkan lama-lama hutan ini bisa habis juga

Teh Tua di Kayu Aro Kersik Tuo

Image
 A simple cup of tea is far from a simple matter. --Mary Lou Heiss-- Berada di tengah hamparan kebun teh Kayu Aro, Pos pendakian Gunung Kerinci di Kersik Tuo seperti pos-pos pendakian pada umumnya. Kaca jendela penuh sticker-sticker identitas kelompok yang pernah mendaki gunung dengan ketinggian 3805 mdpl itu. Ruangan pertama lapang beralasa tikar di seluruh bagian serta foto-foto kelompok pendaki yang berbangga hati pernah menjejakan kaki di puncak Kerinci. Nampan berisi termos air panas dikelilingi kopi, teh, gula dan gelas penghuni sudut ruangan mengundang pengunjung perdana yang kedinginan. Murdham, lelaki berkulit hitam legam terbakar matahari dengan perawakan kecil namun tegap, mengajak kami segera menyantap makanan yang telah disiapkan di meja. Murdham adalah ranger Gunung Kerinci, ia mengenal seluk beluk gunung itu seperti halaman belakang rumah sendiri. Murdham bersemangat mengambilkan nasi untuk kami. Selepas menyantap segunung nasi dengan s

Menyepi Dalam Kehilangan: Sebuah Refleksi

Image
When all is lost, there is still a memory. Beranda kos tidak besar, berukuran 1 x 1,5 m, cukup untuk menjemur setumpuk pakaian. Saya duduk di sana sambil melihat rangkaian bintang yang menari dalam festival bima sakti. Malam ini gelap gulita, memang setiap malam harusnya gelap gulita, tapi kali ini berbeda. Malam ini adalah malam nyepi saat semua penghuni Bali serentak tidak memanjakan diri dengan cahaya artifisial barang sedikitpun. Beberapa hari lalu, seorang teman di Yogyakarta bertanya apa yang akan saya lakukan di hari Nyepi. Saya menjawab dengan ringkas “menyepi”. Bukan, menyepi bukan niat saya sebenarnya. Saya berencana menghabiskan nyepi bersama koneksi internet yang ngebut dari ponsel pintar dan laptop yang penuh film terbaru. Namun tadi sore saya menemukan bahwa cahaya laptop terlalu terang sampai terlihat dari luar sehingga tidak mungkin dinyalakan dan ponsel pintar baru saja saya tinggalkan di jalan antara Ubud – Denpasar hari Jumat malam. Saya kehilan

Prosesi Pangrupukan Legian

Image
Saya mengayuh sepeda onthel cepat-cepat, nafas tersengal-sengal, untung saja jalan dari Dalung menuju Kuta itu menurun sehingga sepeda tua bisa melaju dengan lebih cepat. Di Legian, Joshua dan Sheila sudah menunggu. Hari itu hari Sabtu sehari sebelum nyepi. Saya, joshua dan Sheila berjanji untuk bertemu di rumah Gung Nini di depan banjar Legian Kaja untuk menyaksikan ogoh-ogoh yang akan diarak sepanjang malam.   Terlambat, jalan di Seminyak sudah ditutup karena badan   jalan di depan pura sudah penuh dipakai upacara. Saya parkir sepeda di depan toko ritel waralaba, tidak lupa   dikunci daripada sepeda tua itu digondol pencuri.   Kemudian saya larut dalam kerumunan menyaksikan upacara berlangsung. Awalnya upacara berjalan dengan mantra-mantra yang didaraskan gamelan bali yang energik bertalu-talu. Tak lama, benda-benda pusaka diarak keluar pura dan diarak ke belakang candi. Puncak acara berlangsung saat tarian topeng Barong dan Rangda menggila di antara umat yang khusyu