Posts

Showing posts from January, 2013

Nenek Mang -Menjadi Cantik itu Luka-

Image
Pada suatu siang yang murung, awan kelabu menggenangi matahari. Saya dan Wigit, partner saya, mengajak Vindy dan Harry,   yang tinggal di desa Wahau untuk berkeliling desa Miau Baru tempat saya tinggal. Beruntunglah mereka karena datang di waktu yang tepat, saat kami sedang nongkrong di warung depan Lamin Adat untuk menenggak es teh manis, nenek Mang juga sedang ngerumpi dengan pemilik warung. Siapa nenek Mang itu? Nenek Mang adalah salah satu perempuan sepuh yang tersisa di desa Miau Baru yang dulu kala ikut eksodus desa 7 tahun ke tempat ini. Dia masih bisa menceritakan bagaimana beratnya berjalan kaki menembus sungai, gunung, hutan dan cuaca buruk untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di tempat ini. Saat ini diperkirakan ia sudah berumur lebih dari 100 tahun. Nenek Mang adalah sedikit perempuan dayak Kayan yang   masih menyimpan kuat nilai budaya dalam tubuhnya. Kupingnya panjang dan tubuhnya penuh rajahan tattoo. Walaupun ia tidak bisa berbahasa Indonesia tapi s

Secuil Sunda di Kaltim

Image
Memasuki  pertengahan bulan kedua saya tinggal di Miau Baru, Kalimantan Timur, keluarga mamak Wa mengajak saya main ke kota, Samarinda, untuk menjenguk anaknya yang kuliah di kota itu. Hati saya senang bukan buatan, setelah cukup lama tinggal di pelosok yang sepi sebenarnya saya cukup rindu dengan keramaian  kota besar, dan rasa-rasanya mamak Wa mengerti itu. Di tengah perjalanan yang menurut mamak Wa tidak terlalu jauh, Cuma 16 jam dengan kendaraan pribadi. Untuk dirinya yang sering bepergian lintas provinsi di Kalimantan jarak ini rupanya dianggap dekat. Saya yang pernah naik kereta Sri tanjung Yogyakarta-Banyuwangi selama 16 jam juga cukup merinding membayangkan perjalanan yang akan kami lalui. Nah, kami seringkali berhenti untuk makan atau sekedar meregangkan kaki sembari minum es. Ada satu hal yang membuat saya terheran-heran tidak percaya. Di tengah perjalanan yang lintas hutan dan perkebunan kelapa sawit. Selepas Sangatta kami berhenti di rumah makan Sunda “Tahu

Merekam Malam

 #013 28 Januari 2013 Malam itu udara begitu panas,hujan yang batal seakan membuat bumi meradang, angin juga tak sesekali tampak untuk meredakan panas, kipas angin yang biasa diandalkan juga kini sudah tamat. Kamar itu panas melebihi biasa. Di dalamnya, lelaki itu duduk berhadap-hadapan dengan si perempuan, ada kesunyian berdiri di antara mereka, ada hawa dingin yang menyelimuti tubuh lelaki itu sampai-sampai ia tidak lagi bisa merasakan keringat yang mengucur deras membasahi mata, atau jangan-jangan itu adalah benar air mata? “sudah jam Sembilan,  waktunya pulang” ungkap si perempuan. Lelaki itu mencoba bangun, menggenapkan seluruh daya untuk berdiri, namun rasa-rasanya gravitasipun tidak mengizinkan ia untuk beranjak pergi. Grativasi membantu hati kecilnya yang tidak pernah rela melepas, walaupun logika dan mulutnya selaras untuk menjadi ikhlas. Dengan segala upaya ia menguatkan kakinya, terlebih hatinya, untuk membantu si perempuan berkemas barang-barang yang bertebar

Bulan, Gadis Kecil Miau

Image
#012 Bulan namanya, belum genap berumur 7 tahun tapi kecerdasannya sudah melebihi usia anak-anak yang berusia satu sampai dua tahun di atasnya. Pada suatu Minggu yang berawan, dia datang ke rumah. Bulan adalah keponakan dari mamak Wa, pemilik rumah yang saya tempati selama tiga bulan di Kalimantan Timur, yang menganggap saya dan seorang rekan lagi sebagai anak angkatnya, seperti kamipun yang selalu merasa mamak Wa adalah ibu kami. Sosok Bulan di awal pertemuan tidak banyak bicara, ia lebih sering mengamati aktifitas kami. Matanya selalu penuh antusiasme dan terkadang ia tidak segan bertanya. Namun, ia berubah menjadi gadis kecil yang lucu dan banyak bercerita saat merasa sudah dekat. Ia senang mengajari kami bahasa Dayak Kayan, mulai dari kosakata dasar seperti: makan, minum, mandi, pergi, tidur, gatal. Sampai nama-nama binatang yang kamipun tidak pernah menemukannya selama di Jawa. Ia selalu bersemangat menguji kecepatan mengingat dan ketepatan berucap semua kosakata baru

360KM Pertama

#011 lanjutan dari post  Menengok Jepara Selepas Kartini Suasana rumah-rumah berkelabat cepat, sebagai pengemudi saya tidak bisa terlalu lama mengalihkan pandangan ke luar kaca depan, jam tangan lusuh menunjukan pukul 16.50, tak lama kami melintasi kolong gapura jalan pertanda memasuki kota Tuban. Pemandangan sepanjang pantai utara yang sangat baru bagi mata, membuat waktu enam jam menggenggam kemudi tidak terlalu terasa. Memang kulit bokong rasa-rasanya menjadi tebal berlapis, serta rasa agak nyeri pada pinggang mulai terasa, namun ada kepuasan tersendiri bisa mengemudi sampai tempat ini. Menyusuri pantai utara, berdua, dari jepara sampai tuban seperti mengulang kembali cerita-cerita dalam sejarah. mulai dari kedatangan laksamana Cheng Ho di Lasem, penyebaran sejarah oleh wali songo di pesisir, inisiasi pendidikan perempuan oleh R.A. Kartini di Rembang. Semua cerita itu seakan menjadi nyata saat saya benar-benar melintas di lokasi perkara. Jam sebelas siang mobi

Teman Yang Terpaksa Saling Bunuh

Image
#010 Kulit macan itu tergeletak di atas tumpukan karung padi, dengan bau khas kulit yang masih setengah basah. Dari lebar dan panjangnya bisa diperkirakan seberapa besar ukuran macam itu semasa hidupnya. Bila coba diperkirakan dengan macan tutul yang saya pernah lihat di kebun binatang tentu hewan ini semasa hidupnya jauh lebih besar. Beberapa minggu lalu bapak Dang terpaksa menembak mati macan tutul itu, bukan karena ia memang niat berburu macan untuk kulitnya, namun macan itu tanpa sengaja memasuki kebunnya. Mereka sempat berhadap-hadapan, si macan tutul dengan anak-anaknya berhadapan dengan si bapak dengan senapannya. Bapak Dang tidak bisa memilih untuk lari, pilihan pertama adalah menempatkan timah panas pada otak si macan, pilihan kedua adalah ia membiarkan dirinya tercabik-cabik oleh si macan yang merasa terancam. Bapak Dang bukan Budha, ia masih manusia, maka ia mengambil pilihan pertama. “ sewaktu saya kecil, saya tidak pernah mendengar ada macan menyerang ternak

Menengok Jepara Selepas Kartini

#009 cerita ini adalah lanjutan dari post  Jepara dan Badai Laut Jawa  Menjejak Jepara Kami berjalan gontai setelah mendengar cerita sang penjaja rujak, karimun jawa ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Namun, dibalik setiap kekacauan disitu ada peluang baru. Begitupun kami melihat ketidakmujuran ini sebagai peluang untuk mengintimi jepara. Angin laut yang mengalir deras seakan membangkitkan rambut lepek dari kubur mengantar kami menuju mobil. Hal pertama yang melintas di kepala adalah menemukan tempat berbaring yang terjangkau kantong. Selain murah, kamar itu juga harus bersih, dengan atau tanpa kamar mandi dalam itu tidak menjadi soal. Terima kasih kepada semua travel blogger yang selalu memahat pengalamannya dalam setiap karakter yang membentuk informasi di dalam mesin pencari. Tanpa menunggu lama kami menemukan hotel dengan harga sesuai kantong dengan fasilitas di atas ekspektasi. Hotel kencana, berjarak 10 menit perjalanan dengan mobil dari dermaga, ber

Monggo Mampir, Mengudap Rasa Secara Jogja

Image
#008 “ Tidak ada lagi yang menarik di Jogja setelah saya tinggal dan berdinamika di kota ini lebih dari lima tahun” Yup, lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal keseluruhan kota ini. Saya merasa dari setiap cafe yang tumbuh dan gugur, tempat makan terkenal aneka rasa, warung-warung favorit pernah saya coba. Sehingga tidak ada lagi hasrat untuk menyelami kota ini. Namun, di sore hari yang bersenandung rasa bosan saya kembali menuju toko buku Gramedia untuk membaca buku-buku baru dengan gratis. Saya menemukan buku yang membuat hasrat berpetulang di Jogja membuncah lagi. Buku tersebut berjudul Tempat Makan Legendaris di Jogja - Monggo Mampir mengudap rasa secara Jogja' . Buku ini ditulis oleh Syafaruddin Murbawono dan Butet Kertaradjasa sebagi inspirator dan among raos. Yup, setelah membolak-balik buku ini kesadaran bahwa saya belum sungguh mengenali kota ini segera muncul ke permukaan. Buku ini mendeskripsikan tempat-tempat makan yan

Lesehan Malioboro Beretika.

Image
#007 Sekitar 5 tahun lalu seorang teman pernah komplain pada saya saat chat di facebook, dia bilang saya telah menipu dirinya dengan bilang biaya hidup di Jogja itu murah. Dia bilang saya telah menyebarkan informasi palsu dengan bilang “Bawa uang lebih sedikit dan liburan lebih lama di Jogja”. “makan di lesehan Malioboro yang makanannnya biasa saja bisa mahal begitu, bagaimana makan di tempat yang lebih bagus, mending gw kulineran di Bandung, harga dan rasanya jelas” itulah penjelasannya saat saya tanya kenapa dia bisa begitu kecewa. sumber foto: yogyakarta.panduanwisata.com Saya jadi teringat pesan beberapa saudara dan juga pesan yang dulu sempat saya temui di beberapa milis. “jangan makan di lesehan malioboro, harganya gak jelas, pasti harganya akan digetok habis”. Coba kita bayangkan saja begini: Teman saya, satu orang yang kecewa akan menyebarkan kekecewaannya kepada banyak orang. Satu saran di milis menyebarkan informasi kepada beberapa orang anggotanya dan

The Kribo's Way

Image
#006 Kenapa rambut saya kribo? Itu pertanyaan yang berkali-kali diajukan teman atau kenalan yang baru pertama bertemu. Buat saya jawabannya mudah saja, itu semua karena gen yang diwariskan kedua orang tua saya, kromosom X dan Y bersatu lalu bla...bla...bla...bla... namun, tentu bukan itu maksud pertanyaan teman-teman tersebut. Mungkin yang mereka maksud adalah kenapa rambut saya sudah keriting lagi berantakan. Nah, kalau itu saya juga sudah punya jawaban. Itu semua karena saya sudah belajar menerima diri saya apa adanya dan belajar mencintainya. Lalu muncul pertanyaan : “berarti sebelumnya saya tidak bisa menerima kondisi diri?” sambil berpikir dan menghela nafas panjang saya menjawab “saya, dulu begitu”. Lalu dimulailah cerita. Sebagai anak berambut kribo tentu saja berarti terbatasnya modifikasi gaya rambut. Sedangkan tren-tren rambut yang lagi nge-pop di zaman saya SD, SMP dan SMA tidak kribo-friendly. Contohnya: saat saya SD, mode rambut yang