Trangia





Saya pernah mendengar idiom bahwa nyawa seorang pendaki atau pencinta kegiatan outdoor pertama ada di tangan Tuhan, kedua di dalam carriernya. Walaupun yang nomor dua tampak berlebihan tapi bisa dibenarkan juga. Mental adalah syarat utama dalam pendakian, kesiapan fisik menyusul setelahnya, tapi tanpa pengetahuan dan perlengkapan yang memadai dalam pendakian kita bisa mati konyol di gunung. Banyak kasus kematian di gunung bukan karena kecelakaan seperti jatuh di jurang atau diserang binatang buas, namun lebih pada hipothermia karena kurangnya pengetahuan dan perlengkapan untuk bertahan hidup di alam liar.

Semenjak mulai mendaki di awal SMA, sekitar tahun 2004, saya sadar perlengkapan pendakian itu mutlak bila mau terus melakukan kegiatan ini dan tidak mati muda. Perlengkapan itu saya cicil satu demi satu dari uang saku yang sangat tidak seberapa. Memasuki tahun 2007, saat saya pindah ke Yogyakarta untuk kuliah, carrier beserta seluruh perlengkapan (sleeping bag, tenda, kompor gas mini, gas tabung, nesting, ponco, P3K, baju ganti, parang tramontina) dan logistik instan selalu sudah terkemas sempurna. Kapanpun teman mengajak mendaki, semendadak apa saja, saya selalu siap berangkat, tinggal angkut carrier, entah hujan atau kemarau. Karena dalam pendakian tidak ada cuaca buruk, yang ada hanya kurang persiapan, begitu pikir saya.

Meloncat ke awal tahun 2009, saya beserta Yusi, Tety dan John berwisata ke Karimun Jawa. Dalam perjalanan di dalam kapal saya bertemu Helen dan Tyas, dua pejalan dari Jakarta. Dari sana kami memutuskan bergabung dan selama beberapa hari island hopping dan berkemah di pulau-pulau kosong dalam kepulauan di utara Jepara itu.

Dalam 5 malam bersama-sama itu saya mengenal yang namanya Trangia, kompor outdoor buatan Swedia berbahan bakar spirtus yang langsung memikat jiwa. Di dalam satu set trangia yang dimiliki Helen terdapat dua panci, satu ketel dan frying pan anti lengket ditambah botol khusus bahan bakar berwarna merah yang tampak sangar. Sebagai pendaki mahasiswa bermodal waktu dan tenaga, punya kompor gas mini dengan nesting saja sudah suatu kemewahan. Memiliki trangia yang saat itu masih sangat langka dan mahal seperti mimpi di siang bolong. Teringat pikiran saat itu, mau puasa berapa bulan biar bisa meminang si Trangia ke dalam carrier.

Setelah tahun itu, dalam perjalanan bertemu banyak pendaki mahasiswa, masih jarang saya temui yang memiliki trangia. Mulai akhir tahun 2012 saja mulai banyak yang menggunakan trangia mini karena harganya yang bersahabat, selain itu distributornya sudah lebih banyak dari awal-awal kemunculannya. Namun, cinta pada trangia milik Helen di pandangan pertama membuat saya ingin memiliki yang seperti itu, jika tidak mirip paling tidak yang selengkap itu.

Meski selama kuliah saya ternyata memilik banyak kerja sampingan dengan penghasilan yang lumayan, tidak membuat saya membeli trangia, buat saya kompor outdoor itu masih kebutuhan tersier. Penghasilan masih lebih dialokasikan untuk hobi fotografi analog, ongkos traveling dan les bahasa asing, terkadang juga untuk mabuk-mabukan.

Sampai akhirnya saya pindah ke Bali. Semua perlengkapan pendakian selain carrier dihibahkan pada seorang kawan yang mulai menggemari pendakian gunung. Waktu itu barang yang dikirim ke Bali hanya pakaian, buku dan sepeda onthel. Pikiran saat itu adalah bertahan hidup dulu di Bali, berpetualang itu belakangan. Walaupun akhirnya pada minggu –minggu pertama di Bali saya lebih banyak berpetualang daripada bertahan hidup dengan cara mencari pekerjaan.

Selama hampir delapan bulan di Bali saya otomatis menggantungkan perjalanan pada teman-teman di sini. Tanpa adanya perlengkapan berkemah vital seperti tenda dan alat masak portable, saya mesti lebih pro-aktif ikut event-event yang diadakan komunitas-komunitas traveling di sini. Banyak wisata alam yang saya ingin inapi menjadi ditunda karena kurangnya perlengkapan. Dampak positifnya adalah saya jadi punya banyak teman di Bali. Kurang enaknya ya seperti yang disebut di atas, saya jadi bergantung sekali pada komunitas dan teman-teman perjalanan, padahal selama ini saya selalu independent jika ingin pergi ke mana-mana.

Turning point muncul saat mendaki Gunung Lesung kemarin. Pendakian yang diorganisir oleh Magma Adventure tersebut berjalan sangat menyenangkan. Jumlah peserta dan kapasitas tenda yang tersedia sudah diperhitungkan, pastinya setiap peserta tidak akan tidur di luar. Panitia juga tahu medan dan bisa menyemarakkan suasana.

Sudah menjadi kebiasaan dalam setiap pendakian, sesampainya di lokasi berkemah saya pasti akan langsung membongkar carrier, membangun tenda, menggali saluran air, mengganti baju kering, memasak air dan menyiapkan makanan supaya saya dan semua orang yang ikut dalam tenda menjadi nyaman. Namun, setibanya di puncak Gunung Lesung saya belum tahu di tenda mana saya akan tidur. Saat panitia membangun tenda, saya dan Asong hanya bisa duduk di pojok dekat api unggun, menunggu tenda yang mana bisa kami tempati. Baju yang sudah setengah basah karena embun malam membuat kami sedikit menggigil. “Coba tenda biru itu masih di tempatku, pasti kita langsung bangun tenda dan masak kopi” ujar Asong. “Iya, payah banget kita, mendaki kok ngga bawa apa-apa” balas saya lirih. Untung saja Rara dan Bayu yang selesai membangun tenda langsung memasak air dan makanan sehingga kami bisa menumpang ganti baju dan menghangatkan perut.



Di momen itu saya teringat bahwa isi carriermu adalah nyawa keduamu. Bagaimana mungkin mendaki gunung dengan mengandalkan isi carrier orang lain. Kenyataan bahwa saya bergantung pada orang lain pada momen itu menggigit harga diri. Walaupun ini acara komunitas yang memang sudah dipersiapkan oleh panitia dan kami memang tidak perlu banyak repot. Masalah ada pada diri sendiri bukan pada acara atau panitia. Semasa kuliah saya selalu keras pada teman yang ingin ikut mendaki tanpa persiapan apa-apa. Kali ini saya dihina oleh masa lalu itu, melanggar apa yang saya selalu tekankan pada orang lain.

When you make a decision, the universe conspire to make it happens. Sepulang dari sana, saya mendapat side job dari kantor untuk menjadi interpreter GM dari Jakarta di konferensi Credit Union seAsia-Pasifik, Sanur. Insentif yang diberikan cukup lumayan sehingga saya langsung bisa memesan Trangia 27-6 UL dan tenda Lafuma Campo 2 dari Tandike Outdoor. Setelah beberapa tahun lalu saya menginginkan barang itu, alam bawah sadar punya banyak cara dan jalan untuk mewujudkannya. Tidak berlama-lama, langsung saya coba kedua alat itu di Pantai Nyang-Nyang, Bukit Tegalwangi dan Bukit Jemeluk Amed. Jangankan saat camping, masak mie dan rebus air untuk kopi di kos yang biasa dilakukan oleh heater elektrik, selama dua minggu perdana menggunakan trangia. Dari yang tidak mau masak saya langsung mencoba berbagai menu praktis. Saya begitu excited sekaligus norak.

Refleksi saya akan kehadiran trangia ini, berkecukupan terkadang membuat saya keras dan tidak bertenggang rasa. Perjalanan selama berbulan-bulan di Bali tanpa peralatan yang memadai telah menampar saya akan pentingnya bertenggang rasa, melihat dari sisi lain. Bahwa banyak orang yang ingin melakukan perjalanan terkendala perlengkapan. Ada yang menyerah tapi ada yang tetap bersemangat. Seharusnya tugas kita sebagai orang yang sudah lebih dulu mengenal kegiatan pendakian untuk terus menjaga nyala semangat itu dan mengajarkan akan pentingnya safety procedure dalam pendakian, bukan hanya bisa memrotes atas kecerobohan yang biasa dilakukan.

Namun, setelah semua alat siap dan semangat bertenda masih menyala, musim hujan datang. Lalu kapan kita ke mana?

Comments

  1. Teko kecil Trangia pas banget sih buat ngopi-ngopi lucu depan tenda... :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati