Go to lombok with bule(s)—sebagai friend , peer partner, tour guide, private bahasa teacher sekaligus bodyguard--- part.2
(Saya terlatih untuk bertahan di
tengah alam yang mengganas, saya terdidik untuk bisa menjaga keselamatan orang
lain di dalam hutan yang tak ramah, saya terbiasa mengantisipasi gangguan
serangga dan binatang buas. Itu karena Alam bisa diprediksi,“tapi hati orang
siapa yang tahu??” Saya tidak bisa mencegah dan menanggulangi
perbuatan-perbuatan terjahat yang bisa dilakukan manusia.. sekali lagi “hati
orang jahat siapa yang tahu?? )
07 september
………….
Ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang
bersalah kepada kami
dan janganlah masukan kami ke
dalam percobaan
tetapi bebaskanlah kami dari yang
jahat
………….
Ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang
bersalah kepada kami
dan janganlah masukan kami ke
dalam percobaan
tetapi bebaskanlah kami dari yang
jahat
…………..
Ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang
bersalah kepada kami
dan janganlah masukan kami ke
dalam percobaan
tetapi bebaskanlah kami dari yang
jahat
entah sudah berapa kali saya
daraskan doa tersebut selama perjalanan ini, sesuatu yang hanya pernah saya
lakukan waktu dulu tinggal di asrama, sehabis itu Tuhan tidak lagi menjadi
sandaran utama dalam hidup saya.
Mobil ini terus melaju kencang di
jalanan yang berkelok, bergelombang dan berlubang di banyak sisi. Kerentaan
mobil yang dipaksa melaju memaksa shock bekerja ekstra di atas batas-batas
ketahanan membuat kami penumpang tak bisa mengelak dari guncangangan dahsyat
saat dasar ban menghantam lubang.
Adzan maghrib mulai berkumandang,
seiring langit semakin membiru menuju pekat, orang-orang bergegas menyingkir
dari jalanan untuk mendekatkan diri dari sang pencipta, setelah sepanjang hari
diberi berkat dan nikmat, kini waktunya mereka berkhidmat. Tapi kami masih di
atas mobil renta yang terengah-engah berlari dikendarai pengemudi yang Nampak
tak peduli. Kami adalah saya, Andrie, Suyan, vera, Ilmi, Ilse, Miky dan Rukiye.
Saya duduk di di sisi kiri dekat
jendela karena ada firasat akan mabuk berat saat pertama menaksir kondisi di
dalam mobil dari penampilan luarnya. Di samping dalam dua kursi yang menyatu tetapi terpisah dari bangku
saya duduk Rukiye dan Ilmi, rukiye tampak tidur di pundak Ilme sedangkan Ilme
tetap tenang melihat jalan walaupun matanya tidak bisa menyembunyikan keletihan
yang dideranya, bagaimana tidak letih, kakinya yang jenjang panjang tidak muat
dengan ruang antar kursi yang didesain untuk orang asia sehingga ia harus duduk
menyamping sepanjang perjalanan. Hal itu juga dialami oleh Ilse dan Miky, namun
mereka Nampak mencoba tidur dengan memeluk carrier yang besar tapi hampir
keseluruhan isinya adalah baju. Di
belakang saya duduk Andrie yang dengan tenang melihat kondisi sepanjang
perjalanan, semenjak pertama mengenalnya enam tahun lalu saya tidak pernah bisa
menerka pikiran di balik wajahnya yang tenang hampir minim ekspresi. Di
belakang Ilse dan Miky, duduk Suyan dan Vera yang kelihatan masih excited
dengan perjalanan ini, mungkin ini pertama kali mereka merasakan petualangan
seperti ini.
Rukiye beberapa kali terbangun,
dengan bahasa inggris yang tidak lancer, terus bertanya : “kapan sampai?, masih
berapa lama lagi? Dimana posisi kita? Bagaimana situasi sekarang?” saya hanya
bisa menjawabnya “sabar ya, sudah lewat
separuh jalan, dan semua baik-baik saja, all is well, no problem”. Dengan
senyuman termanis, terjujur dan terhangat yang bisa saya berikan.
tapi senyuman itu adalah kepalsuan terbesar………
di dalam hati , sayapun sudah
sangat tidak sabar, kenapa jalanan ini panjang sekali, hati selalu berharap
kami segera sampai di pos plawangan sembalun, masuk ke hotel yang sudah kami
booklng, lalu tidur dengan normal di atas kasur yang empuk serta sebelumnya
menikmati segelas the hangat dan pancake. Seperti yang saya alami tahun lalu di
hotel itu.
Apakah ini benar sudah separuh
jalan? Tidak, tidak, saya tidak tahu, sejujurnya saya tidak tahu ini ada
dimana, saya tidak tahu berapa lama lagi, saya tidak mengerti kenapa sampai sejauh ini masih ada kota-kota
kecil yang saya lewati, dan bukan hutan jambu mete dan perkebunan sayur, saya
benar-benar tidak tahu. Tahun lalu saya dan kawan-kawan yang seluruhnya
petualang dan pendaki menuju pos pendakian gunung rinjani itu menggunakan mobil
carter dari kawasan pantai kuta di selatan pulau Lombok, tapi kini saya melaju
dari kota mataram yang berada di barat pulau Lombok menggunakan bus tua dengan
supir yang plin-plan. Kali ini saya bersama enam orang perempuan (empat orang
bule seksi dan dua orang berkulit kuning berwajah oriental) yang tidak pernah
mendaki gunung dan tidak pernah naik angkutan umum. Serta satu lelaki pendiam
yang kurang bisa diandalkan.
Lalu bagaimana situasi sekarang?
Apa benar baik-baik saja, apa all is well, apa benar-benar no problem. Firasat
saya bilang ini ada yang salah, baru saja si kenek berbicara serius dengan
supir, mereka tampak beradu pendapat dengan bahasa daerah yang saya tidak
mengerti, langit biru pekat tadi bertransformasi jadi hujan besar yang
mengguyur jalan, angin besar menampar-nampar sisi kanan besi tua berjalan ini, jalanan
jadi licin dan mobil bus ini terpaksa mengurangi kecepatan, air membawa lumpur
menyelimuti jalan dan menggenangi lubang-lubang yang tampak seperti panu. Dan
sepanjang perjalanan itu doa tidak kunjung henti saya daraskan. Saya tahu,
semua tidak baik-baik saja.
Satu demi satu penumpang warga
local yang tadinya memenuhi bus ini turun di perhentian mereka, menyisakan
kami, delapan turis yang sangat lezat untuk disantap. Penumpang yang turun
mulai dari dua orang nenek-nenek yang membawa keranjang kosong dan sempat
menyemarakan suasana bus dengan keramahan mereka. Lanjut seorang ibu dengan
kedua anaknya, yang satu masih bayi dalam gendongan dan satu lagi berumur sekitar
4 tahun dalam erat gandengan . Diteruskan seorang pemuda yang saya terus awasi
karena sepanjang perjalanan tidak pernah absen mengintip belahan dada Ilmi yang
mengenakan tanktop pink dengan udel sesekali mengintip dari balik baju,
terus-terus habis penumpang itu sampai terakhir seorang kakek, sebelum turun ia
menasehati saya supaya hati-hati di aikmel nanti, banyak supir nakal, saya tersenyum hangat
berterima kasih, tapi jantung ini berdentum-dentum kelojotan.
Menjadi pertanyaan teman-teman
yang daritadi membaca, kenapa saya harus setakut ini? Beberapa alasan sudah
saya jelaskan pada tulisan part.1. tapi yang paling utama adalah mereka
semua mengandalkan saya, semua keputusan
saya yang ambil, mereka (tidak termasuk Andrie) tidak pernah melakukan budget
traveling seperti ini sebelumnya, mereka menaruh kepercayaan di pundak saya dan
yakin akan aman bila mengikuti petunjuk saya, padahal saya saja selama
perjalanan yang pernah dilakukan tidak pernah yakin dengan keselamatan saya.
Saya terlatih untuk bertahan di
tengah alam yang mengganas, saya terdidik untuk bisa menjaga keselamatan orang
lain di dalam hutan yang tak ramah, saya terbiasa mengantisipasi gangguan
serangga dan binatang buas. Itu karena Alam bisa diprediksi,“tapi hati orang
siapa yang tahu??” Saya tidak bisa mencegah dan menanggulangi
perbuatan-perbuatan terjahat yang bisa dilakukan manusia.. sekali lagi “hati
orang jahat siapa yang tahu??”
*****
1,5 jam lalu
Normalnya bila berangkat dari
Surabaya jam 16.00, tentunya kami sudah sampai di Lombok pukul 11.00 hari selanjutnya,
tapi karena memasuki libur lebaran
antrian di pelabuhan benar menggila, bus yang kami tumpangi harus menunggu 2
jam untuk naik kapal menyebrangi selat bali dan menanti 3 jam untuk duduk di
kapal menyebrangi selat Lombok, selain itu ombak yang sedang malas beramah
tamah memperlambat kapal kami menuju pelabuhan lembar di Lombok, yang normalnya
4,5 jam kini jadi 5,5 jam.
Kami tiba di terminal mataram
pukul 16.40.
Plan A yang saya buat adalah kami
tiba di mataram pukul 11.00 WITA, makan siang, lanjut naik bus ke plawangan
sembalun yang kira-kira akan sampai pukul 16.00 WITA, istirahat, sehabis
maghrib langsung trekking ke pos 2 gunung rinjani dengan estimasi lama
perjalanan begineer selama 3-4 jam. Lalu mendirikan tenda dst..dst..
Di Bali karena saya lihat akan
terlambat sampai di terminal mataram maka dibuatlah plan B, kami akan tiba di
mataram pukul 14.00 WITA, membeli snak untuk dimakan di jalan, sampai di
plawangan sembalun pukul 18.00, menginap di hotel untuk istirahat semalam.
Pagi-pagi benar esok hari akan langsung trekking menuju pos terakhir dengan
estimasi lama perjalanan untuk begineer 8-9 jam. Dst..dst.. sesegera mungkin
saya pinjam lonely planet miky untuk mencari kontak hotel di basecamp rinjani
yang pernah saya inapi.
Sesampainya di pelabuhan lembar
pukul 15.10 WITA. Maka saya sadar kami sudah sangat terlambat, maka
dirancanglah plan C yang akan sangat merugikan Andrie yang cuti kerjanya
terbatas dan Suyan dan Vera yang hanya punya waktu 5 hari karena sudah punya tiket
pulang ke Jakarta. Sedangkan saya dan keempat bule ini memiliki waktu luang dua
minggu sebelum masuk kuliah. Jadi begini plan C, kami akan menginap di mataram,
mencari penginapan murah, lalu menjelajah mataram malam dan pagi hari, jadi
hari yang disiapkan untuk city tour di akhir perjalanan ini dihapus, sekitar
pukul 10.00 WITA menuju plawangan sembalun dan akan tiba pukul 14.00 WITA .
setelah itu bersiap-siap langsung trekking menuju pos 2 dst..dst..seperti plan
A.
Satu hal yang selalu saya benci
dari pariwisata Indonesia adalah system dan infrastruktur transportasi yang
“tidak terperhatikan” (untuk mengganti kata “buruk sekali”). Kami diturunkan
tidak di dalam terminal, tapi beberapa ratus meter di luar terminal. Awalnya
kami menurut saja waktu dibilang sudah sampai , tapi setelah menyadari saya
benar-benar merasa tertipu, tapi tentu saja tidak saya ungkapkan kepada keenam
perempuan itu, hanya Andrie yang tahu.
Kekacauan belum berhenti, tapi
baru dimulai, sebelum kami sempat menginjakan kaki di aspal ojek-ojek sudah
berhamburan menyergap kami, langsung menarik-narik tas kami untuk diangkut ke
atas motornya.
Saya berkali-kali menolak dengan
keras dan berjalan cepat di depan dengan maksud supaya yang lain mengikuti,
tapi saya tidak menyangka rukiye malah memberikan tasnya kepada tukang ojek dan
mau saja digiring ke pos ojek, saya yang telat menyadari langsung menitipan tas
ke Andrie dan berlari menyusul Rukiye dan beradu mulut dengan si tukang ojek
yang tidak terima saya ambil calon penumpangnya.
Sekembalinya saya ke rombongan,
mereka sudah dikepung oleh tukang ojek, tukang cidomo, supir angkot, supir bis
dan calo-calo travel. Beberapa membujuk
untuk mau diantar keliling mencari oleh-oleh, sebagian meminta kami ikut mereka
karena mereka adalah angkutan resmi, beberapa menawarkan jualan sarung Lombok
yang saat kami tolak mereka bilang harga bisa ditawar, segelintir berusaha menarik tas kami untuk diantar ke
hotel terdekat tanpa bertanya kemana tujuan kami. Saya yang tegang, panic dan
lelah berhalusinasi kami adalah sekumpulan
rusa terluka di sudut padang kering afrika dikelilingi gerombolan hyena
yang kapan saja siap memangsa.
Walaupun saya sudah ratusan kali menolak, dari
level halus sampai terkasar mereka tidak pernah menyerah. Kami selalu diikuti
kemanapun kami pergi, kami tidak pernah diberi kesempatan untuk bertanya pada
warga setempat, tidak ada warga berani mendekati kami yang dikepung ini. Begitu
terus sampai kami memasuki terminal karena saya kebelet kencing dan sangat
merindukan WC.
Sekeluarnya saya dari WC, saya
benar-benar terkejut, jumlah orang yang mengepung kami berlipat ganda, dengan
bujukan yang lebih keras, di telinga saya itu adalah paksaan, beberapa bahkan
mendekati ancaman, saya melihat pos polisi tapi tidak ada yang bertugas, saya
melihat wajah-wajah bule itu yang walaupun tidak mengerti apa yang diucapkan
tapi tahu ada yang tidak beres lalu mulai ketakutan.
saya berpikir keras, ada beberapa
pilihan dan satu demi satu pilihan itu saya eliminasi : oleh-oleh bukan
prioritas jadi kami tidak akan menyenangkan tukang oleh-oleh, bertanya pada
warga tidak mungkin karena terminal lenggang tapi bertanya saran pada calo
dimana tempat kami bisa istirahat sama saja masuk kandang harimau yang akan
menerkam isi dompet kami, mau jalan kaki ke pusat kota cukup jauh namun jika
naik angkot atau taksi akan “dirampok” karena tidak tahu tariff dan jaraknya,
menginap di hotel terdekat yang terlihat oleh mata bisa saja tapi apa si
bule-bule ini bisa kerasan karena dari tampilan luar saja hotel itu sangat tidak
meyakinkan.
Tiba-tiba munculah seorang bapak
dengan kopiah putih, berjanggut, wangi parfum non-alkohol , celana khaki, dia
menawarkan untuk ikut dengan bisnya menuju plawangan sembalun. Di mata dan pikiran saya yang lelah ia Nampak memancarkan cahaya kekuningan
dari bajunya yang lusuh dan memiliki sayap putih halus terkembang, senyumannya
membuat bunga-bunga bermekaran, dan setiap langkahnya menumbuhkan rumput hijau
di tanah yang kering berbatu, wangi-wanginya menginspirasi burung-burung untuk
berkicau, ucapannya membuat para supir dan calo itu berubah menjadi pohon-pohon berbuah ranum.
*lebaayyyyy*
Dia bercerita bahwa rumahnya di
desa dekat plawangan sembalun, dan bus yang ia kendarai memang bertrayek ke
aikmel yang searah. Sore ini adalah keberangkatan terakhir dan ia langsung mau
pulang ke rumah sehingga ia mau
mengantarkan kami langsung ke basecamp asal ada tambahan ongkos sekitar 30%
dari harga normal.
Saya sebenarnya masih curiga.
tapi saya memikirkan nasib Andrie, Suyan dan Vera yang waktunya terbatas serta
empat bule itu yang mulai ketakutan dan orang-orang terminal yang sangat
mengintimidasi. Sempat sejenak si bapak itu beradu mulut dengan orang-orang di
terminal dengan bahasa daerah yang saya tidak mengerti. Dari wajah dan nada beberapa supir tampak
mereka tidak setuju dengan tawaran si bapak itu.
Tapi keputusan saya ambil, inilah
plan D, saya akan menaiki bus si bapak, dia meminta pembayaran di muka, tapi
saya memberikan 40% di muka dan 60% saat tiba. Kami deal dan saya tertawa
bahagia melihat wajah para
pengintimidasi kami yang kecewa.
Namun, kebahagiaan itu tidak
bertahan lama…..
To be continued…..
kayaknya gw liat peran lu disini udah berubah dari tour guide jadi nyokap mereka hahaha....
ReplyDeleteSi Mila entah kenapa suka sekali bilang Nyokap :D
Deletekunjungan gan .,.
ReplyDeleteMenjaga kepercayaan orang lain lebih penting daripada membangunnya.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.
hehehe... gw selalu suka tulisan lo nge... tapi panjang2 semua yak?? jadi kadang baru gue baca seperempat udah dipaksa emak nyambung skripsi... ahahaha... btw gw suka kata2 pembukanya: "alam bisa diprediksi, tapi hati manusia siapa yang tahu?" hahaha... bener bgt tu ngena passssss
ReplyDeletehai rio, sori bin sori. ane baru baca komen kamu yg di postingan postcard :D
ReplyDeleteya udah sini mana alamat kamu, postcard akan segera aku kirimkan :)
eh iya, itu kliatannya seru bgt yah, bodyguard, guide, dan teacher, cieeee.... gak capek tuh diborong semua. bagi2 atuh :D