Perjalanan 7 Tahun
Pada tahun 1964, di sebuah pedesaan yang terletak di sekitar
sungai Kayan, yang sudah mendekati perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Sekitar 800-900 orang penduduknya, yang berarti hampir keseluruhannya, melakukan migrasi dari
daerah mereka untuk menemukan kehidupan yang lebih baik. Mencari tempat dimana
mereka bisa lepas dari ketertinggalan dan keterasingan yang menjerat.
Tempat mereka tidaklah kurang subur atau tengah mendapat
bencana. Layakanya Kalimantan dahulu kala, alamnya begitu memanjakan setiap
orang yang diam di atasnya. Tidak akan kurang mereka akan pangan. Padi-padi
gunung, hasil hutan, dan hewan selalu
siap diambil dari alam. Juga tidak mereka kekurangan papan, pohon-pohon yang
tidak cukup dipeluk belasan orang siap sedia menjadi atap dan dinding untuk
melindungi mereka dari panas dan dingin.
lukisan di gerbang lamin adat desa miau baru |
Hidup mereka tidak berkekurangan. Namun, keterasingan lokasi
desa mereka membuat akses pada dunia luar sangat sulit. Kebutuhan mereka akan
komoditas utama seperti garam, gula, dan rempah yang tidak bisa mereka hasilkan
sendiri menjadi sangat sulit terpenuhi. Di luar itu, kebutuhan yang sangat
penting dan begitu mereka dambakan dan menjadi motivasi terbesar migrasi mereka
adalah akses pada pendidikan dan kesehatan.
Pemikiran panglima suku saat itu jauh lebih visioner dari
orang-orang di zamannya di desa tersebut. Saat orang-orang yang ia pimpin masih
sibuk dengan mengurus dan memperluas
ladang, ia sudah berpikir bagaimana nanti generasi penerus desa itu bisa
mengenyam pendidikan, ia sudah memikirkan tentang bagaimana caranya supaya
masyarakatnya bisa mendapat pengobatan yang tepat dan cepat saat sakit.
Diutuslah beberapa orang pilihan untuk mencari tempat yang
sesuai harapan. Setelah beberapa tahun utusan tersebut menemukan satu tempat di
dekat sungai telen. Disana baru berdiri sebuah kecamatan, yang berarti sudah
ada sekolah dan puskesmas, walaupun masih sangat minim.
Masalah belum selesai, daerah tersebut adalah milik suku
dayak wehea yang berarti mereka tidak bisa sembarangan berpindah karena
bisa-bisa terjadi perang. Dalam
diplomasi damai yang panjang akhirnya mereka mendapat izin untuk bermukim di
salah satu daerah mereka. Awalnya, Ketua adat menawarkan mereka untuk tinggal
berdekatan supaya bisa menjadi sekutu kuat tetapi Panglima suku itu berpikiran
lain. Saat ini jumlah mereka sedikit namun bagaimana kalau anak cucu mereka
terus bertambah besar dan lahan terasa sempit? Tentu saja di generasi mendatang
gesekan yang bisa memicu konflik berdarah sangat potensial terjadi. Oleh karena
itu mereka memilih tinggal 60 km dari desa dayak wehea. Di area yang masih
hutan belantara mereka akan memulai kehidupan baru.
Saat kabar itu sampai ke desa asal, penduduk disana
bersiap-siap. Mereka menanam padi dalam jumlah yang di luar biasanya.
Menyiapkan segala macam peralatan yang perlu dibawa. Setahun kemudian panen
datang dan semua hasil sudah dikemas maka mereka mulai melakukan long march dan
menghadapi situasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Semua penduduk
desa yang berarti orang-orang tua, lelaki-perempuan, anak kecil, sampai orang
cacat melakukan perjalanan yang akan mengubah kehidupan generasi penerus
mereka.
Mereka berjalan kaki membuka jalan di hutan belantara
Kalimantan yang terkenal rapat dan basah, yang terkadang sinar mataharipun
kesulitan masuk. Berjalan kaki melintas di atas tanah gambut, lumpur , semak
berduri, tanah berbatu sampai lumpur hidup. Kelelahan adalah teman sehari-hari
dan penyakit jadi sahabat yang kerap mengunjungi.
Saat persediaan pangan mereka mulai menipis maka mereka akan
berhenti dan membuka hutan untuk membuat ladang. Bibit padi yang dibawa akan
ditanam dan mereka menunggu beberapa bulan sampai panen dan siap melakukan
perjalanan. Beberapa kali padi tidak tumbuh maksimal sehingga tidak bisa
mencukupi seluruh kelompok dalam jangka waktu lama. Tapi itu bukan masalah,
alam baik pada siapapun yang menjaganya. Mereka memakan sagu yang tumbuh subur
di sekitar rawa. Selain itu, mereka juga mengumpulkan semua hasil hutan yang
bisa diolah menjadi makanan.
Pasokan air adalah keharusan bagi manusia. Sungai-sungai
jernih di Kalimantan menyebar bagai syaraf dalam otak manusia. Selain itu,
karena hutan masih terjaga maka banyak sekali ditemui mata air selama
perjalanan. Namun, terkadang air juga bisa menjadi masalah, sungai-sungai besar
bisa menjadi penghalang perjalanan. Untuk kesekian kali alam sungguh kaya bagi
siapa saja yang bisa dengan arif mengelolanya. Pohon-pohon besar siap diolah
menjadi ces dan ketingting (sejenis perahu ramping yang terbuat dari kayu utuh).
Tidak kurang 7 sungai besar dalam harus mereka sebrangi selama perjalanan itu.
Harapan akan kehidupan yang lebih baik membawa mereka
melewati perjalanan maha panjang dan berat. 7 tahun diperlukan untuk mencapai
tanah harapan itu. Di salah satu area kecil milik suku dayak wehea, seluas
kurang lebih 500 ha di hulu sungai telen. Tidak sedikit anggota rombongan yang
menghembuskan nafas terakhir karena usia, kecelakaan dan penyakit. Tapi mereka
pasti tersenyum lega melihat akhir bahagia sukunya.
Dan beberapa tahun lalu, area tersebut resmi menjadi suatu
desa mandiri, yang lebih maju dari desa-desa yang sudah ada sebelumnya. Desa itu
bernama Miau Baru. tempat orang Dayak Kayan yang memiliki daya juang tinggi bermukim.
Disarikan dari cerita Kepala Desa, Kepala Adat dan Kepala
BPD desa Miau Baru, Kalimantan Timur.
bookmarked
ReplyDeleteKeren bangeeeeet... Hati gw sampe berdesir gitu bacanya, sumpe :'))
ReplyDeleteSadiiisss ceritanya. Ga bisa komentar lain selain keren bangeeett....
ReplyDeletekeren banget bro. berasa ikutan eksodus sama orang-orang kayan...
ReplyDeletekeren banget bro....
Deletetrimakasih kpd google & blogger sehingga cerita ini bisa dishare ke qta smua :')
beginilah mental bangsa kita sesungguhnya saat susah, pantang menyerah & kreatif mencari solusi