Gunung Kerinci - Badai di Rumah Harimau
Mountains are not Stadiums where I satisfy my ambition to achieve, they are the cathedrals where I practice my religion.-Anatoli Boukreev-
“Kenapa kita mendaki?” tanya Arfa sambil menunduk terengah-engah.
Tidak ada seorang dari kami yang menjawab pertanyaan retoris itu. Jam
menunjukkan pukul 11.00 WIB, baru dua jam perjalanan. Kaki mulai terasa pegal
dan nafas rasa-rasanya hampir habis. Bukan treknya yang berat, hanya fisik kami
yang sudah lama tidak dipakai mendaki. Setelah sekian lama vakum, kini dipaksa
menyusuri Gunung berapi tertinggi di Indonesia ini. Bagaimana seluruh rangkaian
daging dan otot ini tidak menjerit dipaksa bekerja keras.
Sejak pukul 09.00 WIB kami sudah mulai meninggalkan pos pendakian
Kersik Tuo menuju Tugu Harimau. Dari sana, kami menumpang truk sayur menuju
Tugu Gerbang Taman Nasional Kerinci-Seblat.
“Gila, ladang sayur sudah jauh menembus taman nasional, kalau terus
dibiarkan lama-lama hutan ini bisa habis juga seperti di Jawa” ungkap Dewi
tidak percaya. Taman Nasional Kerinci-Seblat adalah salah satu rumah terakhir
harimau sumatera. Areanya yang semakin
sempit dan banyak satwa yang menjadi makanan harimau (babi hutan, rusa, dll)
diburu manusia membuat kesejahteraan harimau makin terganggu. Kami jadi
teringat kejadian semalam, Murdam menunjukan foto harimau yang masuk desa. Untung
harimau itu bisa diusir lagi supaya masuk hutan tanpa terluka sama sekali.
Kami terus mendaki menembus hutan hujan basah yang rapat.
Pohon-pohon raksasa berdiri anggun mencakar langit. Seringkali Sulur-sulur
menjuntai seakan membelai tubuh kami yang kelelahan. Saya jadi teringat kisah
The Ents, pohon yang hidup di buku The Lord of The Ring karya J.R.R. Tolkien.
Ia tinggal di hutan Fangorn tepat di sebelah Isengard tempat Saruman the White
tinggal, tugasnya adalah menjaga hutan dari kehancuran. Apa mahluk sejenis The
Ents ini ada di Gunung Kerinci? ketika tinggal di Kalimantan Timur saya pernah
mendengar legenda tentang pohon raksasa seperti The Ents yang hidup di rimba borneo. Saya harap mahluk seperti itu juga ada di
hutan ini supaya pada titik kritis hutan ini ia bisa datang menjadi penyelamat.
Trek terlihat jelas walaupun dipenuhi guguran daun-daun yang
membusuk. Lumut menyelimuti batang-batang pohon. Jamur berwarna-warni hidup di
batang-batang pohon yang tumbang mengering. Bau khas hutan ramah menghibur
indra penghidu, ia menghilangkan kecemasan yang menyelimuti. Beruntung semalaman tidak hujan sehingga
jalanan tetap keras. Kalau tidak, saya tidak bisa membayangkan beratnya
perjalanan yang harus kami lalui. Saya teringat cerita seorang sahabat yang
selalu membawa temannya yang patah hati mendaki gunung. Katanya “rasa lelah,
cuaca dingin dan aroma alam bisa meredakan kekhawatiran dan menyelamatkan otak
dari pikiran yang kalut”. “Juga bisa terjun ke jurang kalau dia tambah
frustasi?” tanya saya skeptis.
foto oleh : Dewi Pelita |
Mencapai tengah hari, kami tiba di pemberhentian pertama. Di tanah
lapang ini terdapat fondasi bangunan dan kayu yang tersisa. Nampaknya, dulu
pernah ada bangunan semi permanen di sini untuk tempat beristirahat pendaki.
Saya tidak tahu kenapa sekarang hampir tidak bersisa. Pikiran saya jauh
melayang ke Danau Taman Hidup di Gunung Argopuro. Dermaga yang fotogenik untuk
berfoto itu kini bolong-bolong hampir lenyap karena kayunya dijadikan api
unggun oleh pendaki tidak bertanggung jawab. Selepas cukup beristirahat menyantap
biskuit dan coklat untuk menambah energi kami lalu melanjutkan pendakian.
Hutan ramai oleh kicauan burung yang bersahut-sahutan. Bahkan
burung-burung itu terbang dan hinggap beberapa meter di hadapan kami dan
kemudian terbang kembali. Seakan-akan mereka ingin menemani dan menunjukan arah
jalan yang benar. Tidak heran, Kerinci selain menjadi suaka bagi harimau
sumatera juga menjadi rumah bagi burung-burung endemik yang terancam
keberadaannya karena perburuan manusia, sebut saja : Tiung Sumatera, Puyuh
Gonggong, Celepuk, Burung Abang Pipi.
Tidak hanya semarak oleh kicauan burung, pendakian kali ini
diriuhi oleh kelompok siamang yang saling memanggil. Mungkin kehadiran kami
membuat mereka terusik. Primata yang tidak berekor ini memiliki kantung tenggorokan
yang dapat membesar dan berfungsi membuat pita suara lebih keras. Pada waktu
dalam kedaaan bahaya, siamang betina akan mengeluarkan suara yang nyaring dan
diikuti oleh siamang jantan. Bahkan sampai kami melintasi punggungan yang
berbeda, suara mereka masih dapat terdengar.
Trek dari pemberhentian pertama mulai terasa menantang, jalanan
menanjak dan berliku dan seringkali diselingi memanjat akar-akar pohon yang
membentuk tangga. Berulangkali tas kami tersangkut di ranting-ranting pohon.
Jatuh tersungkur karena kaki tersandung batang besar dan terantuk akar yang patah
sudah menjadi makanan. Andai tidak diselingi tawa mungkin mental tim sudah
jatuh.
Sekitar pukul 14.00 WIB kami sudah tiba di pemberhentian kedua. Gerimis
datang mengendap-endap membuat jalan basah, kami mulai khawatir. Jas hujan
dikeluarkan, cover bag dipasang, sol sepatu dibersihkan dan talinya
dikencangkan. Acara makan siang yang awalnya santai kini sisa-sisanya langsung
disantap cepat-cepat supaya bisa langsung berkemas. Saya jadi teringat
pertanyaan seorang teman ketika ingin mendaki gunung rinjani, “kapan waktu yang
tepat untuk mendaki?”. Tidak ada waktu yang tepat, yang ada adalah persiapan
yang tepat untuk menghadapi segala keadaan. Cuaca di gunung sulit sekali
diprediksi seperti hati cabe-cabean yang suka berganti pacar, dalam beberapa
belas menit langit bisa mendung gelap sehabis cerah membiru.
Kondisi jalan pendakian semakin menantang, dalam kondisi gerimis
gendut-gendut kami harus melintasi trek yang juga jalan air. Alhasil, trek yang
seharusnya mudah jadi berat, dari tanah berdebu menjadi tanah berlumpur. Tangan
seringkali enggan menggenggam batu untuk membantu keseimbangan karena dinginnya
menusuk jari tangan yang mulai basah.
Selepas sekian lama berjuang melintasi trek yang kurang
bersahabat, kami sampai di ketinggian 2.500 mdpl, bisa dilihat dari mulai
banyak tumbuhan paku yang memenuhi sisi-sisi jalan. Di suatu medan yang cukup
lapang namun tidak bisa disebut pemberhentian kami berdiskusi hebat mengenai di
mana harus mendirikan tenda.
Dwi mengajak tim untuk melewati pemberhentian ketiga dan
mendirikan tenda di pemberhentian keempat. Dia beralasan supaya saat summit
attack esok pagi bisa lebih cepat sampai ke puncak, serta pos empat lebih luas
dan lapang untuk mendirikan tenda. Saya menolak. Kenapa? Senja sudah dekat
sedangkan tim sudah basah dan kelelahan. Memaksakan perjalanan tanpa melihat
kondisi tim dan cuaca yang buruk bisa menjadi bunuh diri masal. Apalagi tidak ada
dari kami yang pernah ke gunung ini. Hujan biasanya disertai angin kencang,
bila kami mendirikan tenda di pos empat berarti ada di zona sub-alpine yang
hanya berisi semak belukar dan pohon eddelweish. Tidak ada pepohonan lagi yang
membantu tenda menghadapi badai.
Kami terus mendaki menyusuri jalan di tepian punggungan yang
langsung berhadapan dengan mulut jurang. Salah sedikit maka hanya nama yang
tersisa. Hujan semakin lebat disertai angin ribut. Pepohonan yang awalnya
tampak kuat kini nampak lelah dihajar air dan angin. Trek sudah menyerupai
selokan, sepatu yang memasang label waterproof juga tidak kuasa melawan air
yang merembes masuk membasahi kaos kaki dan membekukan ujung jari. Kami tidak
bisa berhenti berjalan walau hati dan kaki sangat lelah. Bergerak adalah
satu-satunya jalan untuk melawan dingin yang membunuh. Kami hanya bisa berharap
makanan yang kami lahap tadi memberi cukup energi untuk bertahan sampai
pemberhentian ketiga.
Mendekati maghrib kami tiba di pemberhentian ketiga. Tanpa banyak
bicara kami langsung membongkar tas, membuat parit dan memasang tenda. Hujan
lebat dan angin ribut masih setia menemani. Kami berpacu dengan tubuh yang
semakin menggigil. Bayangan akan teh panas dan indomie telur sudah memenuhi
benak ketika tenda berdiri. Sebelum masuk ke dalam tenda kami memastikan lagi
pasak sudah terpasang sempurna untuk menghadapi badai nanti malam.
Saya membawa tenda milik Andrie Suanto, Mountain Hardware
Lightpath 2, tenda ini terkenal sangat ringan dan aerodinamis sehingga kuat melawan
badai. Masalah datang, strukturnya yang unik dan saya hanya pernah sekali latihan mendirikan membawa
kesulitan dalam mendirikannya. Berkali-kali saya salah memasang frame sehingga
harus membongkar dari awal lagi.
“Bodoh!!” maki saya dalam hati. Saya banyak membawa logistik
instant seperti spaghetti dan macaronni yang menghabiskan banyak sekali air.
Sudah habis 1,5 liter air, bahan-bahan itu masih juga belum matang sempurna.
Untuk mengambil air ke mata air terdekat tidak mungkin sendirian karena selain
badai di luar tempat itu juga jadi tempat minum harimau. Alhasil, malam itu
saya hanya makan spaghetti yang masih agak keras dengan saus BBQ La fonte yang
tidak enak.
Sekitar pukul 03.00 pagi hujan sudah reda tapi angin semakin
kencang. Saya dan dua teman memutuskan menjaga tenda. keputusan untuk
tidak berangkat berdasarkan pengalaman pendakian-pendakian sebelumnya, menyusuri
punggungan menuju puncak di zona sub-alpine saat badai adalah sama dengan
melawan angin bercampur debu dan kabut. Semangat dan tekad mereka yang kuat
mengalahkan ketakutan-ketakutan itu. Mereka terus mendaki menuju puncak
berbekal daypack berisi logistik dan jas hujan.
foto oleh : Dewi Pelita |
Sekitar pukul 06.00 WIB satu persatu anggota rombongan kembali ke
tenda, mereka gagal menuju ke puncak setelah menghadapi kondisi seperti yang
sudah saya perkirakan. Dua jam kemudian, dua orang teman sampai juga di tenda,
mereka berhasil sampai di puncak.
Intermezzo
Setibanya di kersik tuo, dua teman yang berhasil sampai di puncak
bercerita pada Murdham, ranger kerinci, tentang keberhasilan mereka. Setelah
mendeskripsikan kondisi “puncak” mereka dengan “puncak” Murdham, mereka
tersadar bahwa mereka sebenarnya belum sampai puncak. Kondisi badai berpasir
dan berkabut membuat mereka tidak bisa membedakan mana punggungan buntu dan
puncak kerinci. Alhasil mereka memutuskan untuk remedial tahun depan.
There is wisdom in climbing mountains... For they teach us how truly small we are.”
-Jeff Wheeler-
pendaki gunung jaman sekarang makanannya bergizi banget ya, spageti & bumbu bbq :))
ReplyDeletePosting menarik pas banget buat aku yg mau ke sana akhir Mei ini..thanks infonya Rio
ReplyDeletesaya foto2 di tugu macan aja
ReplyDeleteMendaki seru kayanya, tapi gue gak yakin kuat apa ga? Hehehe.. Nice story i like it
ReplyDeleteRegards,
http://travellingaddict.blogspot.com/
mantab,,,,lanjutgan !!
ReplyDelete