Bali Bridges Ubud
Ubud tidak hanya menyuguhkan kekayaan budaya dan kebersatuannya dengan alam tetapi tempat ini juga mengumpulkan harta-harta kuliner dari penjuru dunia. Bali Bridges salah satu permata kuliner yang harus disinggahi ketika kita berkunjung. Selain menawarkan varian kuliner pilihan Asia dan Eropa, tempat ini menjadi pusat wine terlengkap di Ubud, satu dari sedikit pusat wine yang tersebar di penjuru Bali.
Suatu kebetulan saya bisa berkunjung ke Bridges Bali, suatu
hari ketika asyik berjalan kaki dari Monkey Forest sampai mendekati Museum
Blanco, panggilan alam untuk ke kamar kecil tiba-tiba muncul. Berhubung
restoran ini yang terdekat, saya beranikan untuk masuk dan menumpang kamar
kecilnya.
Tempatnya yang mengesankan membuat saya tertarik untuk
menikmati tempat ini lebih lama. Saya pilih tempat duduk tunggal di teras yang
memiliki pemandangan langsung ke hutan yang mengapit sungai di bawah. Pramusaji
yang mengenakan pakaian putih khas Bali langsung datang membawakan menu. Kopi
adalah teman yang baik untuk melintasi sore, tak ragu saya pesan menu bridges
caramelized ice coffee.
Alunan lagu lounge lazz mengalun sayup-sayup memanjakan
telinga, sejenak lagu La Vie En Rose yang dinyanyikan edith Piaf muncul selepas
lagu Don’t stop me now dari Quenn yang diaransemen ulang. Langit masih biru
cerah ketika itu, di sekitar saya duduk pejalan dari penjuru dunia asyik
menikmati suasana sambil menghidu lalu menyeruput wine di hadapan mereka. Dari
bahasa yang mereka pakai bercakap-cakap, saya menyimak aksen inggris australia
juga bahasa perancis dan spanyol.
Sambil menunggu pesanan datang, saya sempatkan berkeliling. Brigdes
Bali memiliki tiga lantai, di lantai pertama menjadi tempat untuk bersantai
minum kopi, lantai bawah untuk fine
dining dan lantai kedua merupakan tempat untuk menikmati wine dan minuman
beralkohol lainnya. Saya iseng bertanya pada bartender yang siaga wine apa saja
yang tersedia di sini, jawabannya mengejutkan saya. Di samping kulinernya yang
bervariasi, ternyata Bridges Bali menghususkan dirinya dengan sajian wine.
Restoran ini menawarkan dua ratus lima puluh merk wine, dari dua puluh jenis
anggur dan berasal lebih dari sepuluh negara. Range harga dari Rp75.000 sampai
Rp1.500.000 per gelas. Selain itu Bali bridges menawarkan kita untuk bergabung
dengan Divine Hours dari jam 16.00-19.00, di jam tersebut kita bisa minum wine
import dikisaran harga Rp50.000. Tertarik, tepat jam 16.05 saya coba salah satu
wine itali yang paling murah dan saya lupa namanya. Buat saya rasanya biasa
saja, saya lebih suka ABIDIN (Anggur
cap orang tua dicampur BIr DINgin) yang diminum bersama
teman-teman di pantai atau kaki gunung.
Ketika kembali ke meja, pesanan saya sudah datang, bahkan
esnya sudah agak mencair karena terlalu lama ditinggal. Bridges caramelized ice
coffee adalah menu es kopi andalan restoran ini. Di dalam satu gelasnya
tercampur espresso, whipe cream, susu segar dan karamel cair. Paduan rasa yang
menghentak syarat untuk terbebas dari rasa kantuk.
Setelah puas berselancar di internet menggunakan koneksi
internet yang sangat cepat dan gratis, saya mulai bosan. Iseng-iseng saya ajak
ngobrol pramusaji yang berjaga di dekat pintu untuk menyambut tamu, kebetulan
kursi saya juga dekat pintu. “tempat ini sudah berdiri sejak dua puluh lima
tahun lalu, namun baru menjadi Bridges Bali sekitar tahun 2010” ungkapnya.
“Anda lihat lukisan-lukisan dan foto-foto yang dipajang di penjuru dinding?” ia
lanjut bertanya. Saya menganggukan kepala. “itu semua karya artis lokal di
Ubud, sekian persen keuntungannya akan disumbangkan ke masyarakat lokal yang
kurang mampu” lanjutnya singkat.
Hari itu sudah tiga gelas kopi dicerna lambung, perut terasa
kembung, sehingga perlu diisi dengan kudapan ringan demi meredakan nyeri. Saya
kembali melihat-lihat menu, Bali bridges menawarkan kuliner khas Indonesia dan
Asia seperti : Green vegetable Curry, Pepes Ikan, Yellow fish Curry, Red
curried chicken, Sate kelapa sampai brongkos. Harga kuliner Asia dan Indonesia
di kisaran Rp70.000-120.000. Untuk kuliner kontinental bali bridges menawarkan
varian pasta dan steak, harga paling mahal sekitar Rp300.000. Berhubung perut
kembung dan tengah bulan, maka saya pilih Sosis solo yang dibandrol Rp50.000. Kudapan
itu tak lama kemudian datang, sosis solo di bridges terbuat dari daging
sapi yang dilapis telur dadar disajikan
dengan sambal dan acar. Rasanya yang disesuikan dengan lidah orang barat terasa
kurang nendang di lidah saya namun cukup bisa menyenangkan perut yang kembung.
Entah sudah berapa kali saya ke tempat ini, sekedar untuk
memesan balinese black coffee dan menghabiskan waktu dengan berselancar di
internet, membaca buku atau menulis. Bila kamu datang berkunjung ke ubud,
tempat ini layak dikunjungi sekali seumur hidup. Bila sedang ada waktu saya
juga siap menemani, tapi tidak membayari.
take me hier man! i wanna wear my simple dress hahah *imajinasi luar biasa..
ReplyDeletehuuu ayo posting tempat lain! yg murah dan mahal ya hahah