Prosesi Pangrupukan Legian
Saya mengayuh sepeda onthel cepat-cepat, nafas
tersengal-sengal, untung saja jalan dari Dalung menuju Kuta itu menurun
sehingga sepeda tua bisa melaju dengan lebih cepat. Di Legian, Joshua dan
Sheila sudah menunggu. Hari itu hari Sabtu sehari sebelum nyepi. Saya, joshua
dan Sheila berjanji untuk bertemu di rumah Gung Nini di depan banjar Legian
Kaja untuk menyaksikan ogoh-ogoh yang akan diarak sepanjang malam.
Terlambat, jalan di Seminyak sudah ditutup karena badan jalan di depan pura sudah penuh dipakai
upacara. Saya parkir sepeda di depan toko ritel waralaba, tidak lupa dikunci daripada sepeda tua itu digondol
pencuri. Kemudian saya larut dalam
kerumunan menyaksikan upacara berlangsung. Awalnya upacara berjalan dengan
mantra-mantra yang didaraskan gamelan bali yang energik bertalu-talu. Tak lama,
benda-benda pusaka diarak keluar pura dan diarak ke belakang candi. Puncak
acara berlangsung saat tarian topeng Barong dan Rangda menggila di antara umat
yang khusyuk berdoa. Irama gamelan yang ritmis membawa umat dan pengunjung
dalam suasana trance. Beberapa orang di sekitar Barong dan Rangda mulai
kerasukan, mantra didaraskan semakin laju, suasana mistis nan agung sekejab
menyelimuti pura itu.
Setuntas upacara,
jalan kembali bisa dilalui oleh pejalan kaki da pesepeda namun tetap terlarang
untuk dilalui kendaraan roda dua apalagi roda empat. Saya kayuh sepeda perlahan
sambil menikmati ogoh-ogoh raksasa yang memakan hampir setengah badan jalan.
Seperti kata seorang teman, orang Bali memanifestasikan ketakutannya akan
roh-roh jahat dalam cara yang sangat kreatif. Kita bisa menemukan rupa
setan-setan dalam bentuk yang sangat komikal, tidak menyeramkan bahkan lucu,
mulai dari : raksasa buta kala, setan perempuan berpayudara extra, sampai
hantu-hantu modern seperti Kuntilanak, Scream, pocong, mumi dan hellboy.
Joshua dan sheila sudah menunggu di depan rumah Gung Nini
yang biasa disebut jero. Gung Nini berarti nenek dari kasta ksatria, sedangkan
rumahnya disebut jero karena tempat tinggal keluarga dari kasta raja-raja
tersebut. Nama dari kasta ksatria yang saya tahu biasanya dimulai dengan Anak
Agung dan Tjokorda. Gung Nini berpakaian sangat sederhana, kamu tidak akan
menyangka dia memiliki rumah seluas 2500 m2 di area mega mahal legian – Kuta.
Mungkin dia salah satu orang terkaya di Kuta, namun ia tidak pernah merasa
dirinya orang kaya dan bersikap sangat bersahaja. Malam itu sambil menunggu
ogoh-ogoh, kami asyik duduk di trotoar bersama Gung Nini, setelah sebelumnya
mengobrol di dalam jero bersama pak Agung yang merupakan anak kedua Gung Nini.
Pak Agung bercerita ogoh-ogoh sebagai lambang Bhuta Kala,
dibangun menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa saat
menjelang senja Pangrupukan, sehari sebelum Hari Nyepi. Acara ini
menggambarkan keinsyafan manusia akan daya alam semesta dan waktu yang sangat
besar. Kekuatan itu terdiri dari kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana
Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat
mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju
kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia,
sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi
dunia.
“Butuh waktu minimal satu bulan untuk membuat ogoh-ogoh,
tiap malam pemuda-pemudi desa berkumpul untuk mempersiapkan ogoh-ogoh untuk
acara malam ini” cerita Gung Nini. Ia melanjutkan cerita, ada persaingan sehat
di antara banjar untuk membuat ogoh-ogoh terbaik. Selain untuk pamer karya,
acara ini juga sebagai sarana pemuda-pemudi di dalam dan lintas banjar bisa
saling melihat dan mengenal.
Menurut kabar yang beredar, ngrupuk tahun ini tidak semeriah biasanya. hal itu disebabkan waktunya yang berdekatan dengan pemilu. Pukul jam. 21.00 WITA merupakan waktunya Seko Taruna Legian
Kaja unjuk gigi, berikut saya tampilkan foto-fotonya.
Comments
Post a Comment