Pulau Kenawa -- Percakapan Tentang Manusia, Alam dan Iman --
Swedia, Sampah dan
Kanawa
Asong sudah tidak sabar untuk basah, setuntas membongkar
muatan di hut yang tersedia di sepanjang pesisir pantai, ia segera memasang
snorkle dan terjun ke air. Saya memilih untuk susur pantai dan mengelilingi
pulau. Dahi langsung mengerenyit ketika menemukan banyak sekali sampah di
sudut-sudut pantai.
Beberapa jam yang lalu di teras rumahnya, Ibu Arif, penjaga
Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan, bercerita tentang komentar pejalan
mancanegara yang berkunjung ke Pulau Kenawa. Mereka mengaku langsung jatuh
cinta dengan keragaman bawah lautnya juga savana dan kontur bukit di pulau ini.
Di lain sisi, mereka mengeluhkan sampah yang memenuhi pesisir pantai.
Terang Ibu Arif “Saya selalu menegaskan kepada setiap
pengunjung untuk membawa pulang sampah yang mereka hasilkan di sana”. Ia
melanjutkan “saya rasa pengunjung selalu bertanggung jawab atas kebersihan
pulau, namun ada hal lain yang di luar kendali kami”.
Hampir setiap bulan, staff dinas dan nelayan pergi ke Pulau
Kenawa untuk gotong royong membersihkan sampah. Setiap kali, lebih dari dua
puluh karung sampah terkumpul. Meskipun demikian, keesokan harinya Kenawa akan
penuh sampah lagi. Sebagian besar sampah di pantai pulau ini datang terbawa
arus ombak, sebagian kecil ulah pejalan tidak bertanggung jawab. “penumpang di
kapal penyebrangan biasa membuang sampah ke laut, sedangkan warga di sisi lain
pulau sumbawa biasa membuang sampah ke sungai yang terbawa ke laut” geram ibu
Arif. “Sekeras apa kami berusaha Kenawa tidak akan bisa bebas sampah bila
orang-orang masih membuang sampah ke laut”. Tutup perempuan yang sedang
mengandung itu.
Selain pejalan yang datang via Pelabuhan Pototano,
pengunjung juga datang dari kapal pesiar yang biasa membuang jangkar di dekat
Pototano. Mereka turun dari kapal pesiar menggunakan perahu kecil untuk island hopping. “Saya sebagai orang
Indonesia malu bertemu pengunjung kapal pesiar asal Swedia, setiap mereka
datang, mereka pasti sukarela memunguti sampah yang memenuhi pulau dan pesisir
desa nelayan, lalu mengumpulkannya di tempat sampah dekat kantor dinas, kami
orang sini yang mengambil keuntungan dari pulau-pulau ini malah semena-mena
buang sampah sembarangan”. Ungkap Ibu Arif yang memiliki anak pintar bernama
Oval ini.
Pariwisata Kenawa dan
Kelestarian Alam
Dulu sekali, sangat mudah
menemukan ikan di sekitar Pototano. “ikan segini ini masih dianggap kecil dan
berenang bebas di pinggir pantai” terang Ibu Arif sambil menggunakan tangannya
sebagai perbandingan. Sayangnya, beberapa belas tahun lalu, nelayan menggunakan
bom dan potasium sebagai cara singkat mendapatkan ikan. Terumbu karang banyak
yang rusak dan bibit-bibit ikan mati. Bom dan racun membuat keberlangsungan
kehidupan bahari di sana terhenti. Bila terumbu karang rusak dan bibit ikan
mati maka tidak ada lagi sumber kehidupan di sana. Ikan-ikan yang tersisa
mengungsi ke daerah lain, yang biasa datang juga sudah tidak lagi berkunjung.
Sekarang nelayan harus pergi jauh ke tengah untuk mencari ikan. “Penyesalan dan
kesadaran memang selalu datang terlambat” pungkas Ibu Arif sambil menghela
napas.
Dengan semakin ramainya kunjungan
turis ke Pulau Kenawa dan pulau-pulau di sekitarnya dan penyuluhan tanpa lelah
dari dinas tentang pentingnya terumbu karang, nelayan mulai sadar untuk menjaga
terumbu karang. Sekarang nelayan di desa ini tidak lagi menggunakan bom dan
racun, mereka sadar dengan adanya terumbu karang maka ikan akan semakin mudah
di dapat. Di lain sisi, terumbu karang yang terjaga akan menarik semakin banyak
wisatawan, tentu saja akan menambah penghasilan nelayan yang menyewakan perahu
untuk mengantar pengunjung untuk island hopping. Kesejahteraan meningkat dan
alam tetap terjaga.
Memang belum semua nelayan di
Sumbawa sadar, banyak nelayan dari luar desa Pototano datang dan menggunakan
dua alat destruktif tersebut. Namun, staff dinas dengan bantuan TNI AL
berungkali menahan dan menenggelamkan perahu mereka bila berungkali melakukan
hal tersebut.
Apa definisi lokasi strategis?
Asong nampak lelah menenteng
snorkle setelah berjam-jam berenang dengan penghuni laut. Matahari sudah condong
ke barat, sinarnya terhalang bukit tinggi yang diselimuti ilalang. “Coy,
kayaknya keren kalau kita bangun tenda di atas bukit kecil itu”. Selain bukit
tinggi, terdapat satu bukit kecil di tengah pulau-pulau, dari sana kita bisa
melihat sekeliling pulau. Saya langsung menyanggupinya, “okey coy, besok pagi
pasti asik tuh liat sunrise dari sana”. Kami langsung berlari riang
berlomba-lomba untuk duluan sampai di sana seperti anak kecil.
Dalam hitungan belasan menit,
tenda sudah berdiri, api sudah dinyalakan. Angin berhembus sejuk mengiringi
lembayung yang kian kelam. Langit biru berganti dengan malam pekat yang dihiasi
pecahan bintang di seluruh permukaannya. Saat cahaya artifisial tidak ada, maka
langit selalu menampilkan sisi terindahnya bahkan saat berawan. Ditemani kopi
panas dan roti murah kami melamun bodoh, asyik dengan pikiran masing-masing.
Asong membuka percakapan
“coy, orang eropa enak ya, kerja
satu tahun bisa jalan-jalan tiga tahun”
“iya sih, jaring pengaman sosial
mereka bagus, walaupun pulang ke negara sudah kehabisan duit, di sana mereka
ngga akan kelaparan”
“tapi coy, orang eropa kebanyakan
ngga beragama, mereka percaya moral itu lebih penting dari pada iman”
“ngga semua sih, tapi kebanyakan
begitu, mungkin karena hidup mereka sudah enak, ngga mungkin kesusahan dan
kelaparan, hidup nyaman dan aman, mereka ngga butuh banyak doa pada Tuhan
soalnya negara sudah menyediakan, filsafat dan ilmu pengetahuan juga sudah bisa
menjelaskan fenomena alam yang dulu dianggap kemarahan dan kemurahan Tuhan”
Asong mengangguk-angguk “bener
juga”
“Tapi bukannya kita juga baru
ingat Tuhan kalau lagi susah aja? Memang kalau kita bahagia kita bersyukur pada
Tuhan?, koe isih ke gereja ora cuk? (kamu masih pergi ke gereja tidak?)”
“ora’e, males aku” (ngga, aku lagi
malas) ungkap Asong yang dilanjut tawa lepas.
“aku juga ora, nah, kita aja yang
hidupnya susah, baru senang dikit udah lupa Tuhan”
“iyo yo, cen asu tenan ki
menungso, ora menungso dink, kita sing asu tenan” (iya ya, benar-benar brengsek
manusia ini, bukan manusia, tapi kita
yang brengsek)
Selanjutnya, keheningan memenuhi
udara, kami sibuk dengan pikiran masing-masing tentang Tuhan.
Langit berbintang perlahan
tertutup awan hitam. Hujan rintik-rintik datang dengan anggun. Kami tak
menyangka awan hitam bisa datang secepat itu. Secepat mungkin kami mengamankan
seluruh peralatan yang tercecer di depan tenda.
Dalam hitungan detik, hujan
mengguyur Pulau Kenawa tanpa ampun. Desir ombak terdengar makin ganas dihajar angin
badai. Geledek bergemuruh dan petir menyambar-nyambar di lautan. Kami mulai
cemas.
Tenda yang awalnya kami yakini
terpasang sempurna mulai miring dihajar angin. Pasak satu persatu tercabut
karena tidak kuat menahan cover. Cover luar dihajar angin dan dihempas hujan
alhasil tidak lagi mampu menahan air. Tenda kami mulai kebanjiran air. Kami
sibuk menahan tenda dan memegangi frame supaya tidak patah dan terbang. Kami
bergantian memegangi tenda dan mengemas seluruh perlengkapan ke dalam carrier bila terjadi hal-hal yang diinginkan kami
segera bisa menyelamatkan semua barang-barang itu.
Dari dalam tenda terlihat petir menyambar lautan, cahaya seperti blitz
lighting studio saat pengambilan foto memakai toga wisuda. Angin semakin tidak
ramah, tenda terangkat-angkat tanpa kendali. Andai kami tidak di dalam tenda
tersebut, mungkin tenda dan seluruh isinya sudah melayang-layang di udara.
Dalam kepanikan itu, saya
mendaraskan doa meminta pertolongan pada Tuhan supaya badai cepat berlalu.
Seperti percakapan beberapa belas
menit sebelum badai --“Tapi bukannya kita juga baru ingat Tuhan kalau lagi
susah aja?”—
FIN
The journey is the
destination
Perjalanan ini dimulai dari celoteh di obrolan dua minggu
lalu tentang ke mana kami akan pergi untuk mengisi libur Kuningan dan Galungan
selama tiga hari. Pada awalnya ada empat orang yang berniat melakukan
perjalanan ini, yaitu : Asong, Galuh, Rara dan saya. Namun, karena satu dan
lain hal, Galuh dan Rara tidak jadi ikut. Perjalanan dari Denpasar kami mulai
pukul 22.00 wita, setelah menunggangi motor selama 40 menit kami tiba di
Pelabuhan Padang Bai. Dari sana, kami membelah selat lombok selama 4,5 jam
menggunakan kapal ferry untuk menuju Pelabuhan Lembar. Tepat pukul 04.30 wita,
kami mulai menjajal jalan Lombok dari ujung terbarat menuju Pelabuhan Khayangan
di ujung paling timur. Lanskap Lombok yang hijau menghibur segala indra
sehingga 5 jam di atas motor jadi tidak terasa. Terakhir, kami berdiri di atas
kapal ferry menyusuri Selat Alas. Sekitar pukul 11.30 wita kami tiba di
Pelabuhan Pototano, Sumbawa.
Pelabuhan Pototano sungguh unik, selama ini dalam benak
saya, pelabuhan pasti dijejali oleh warung-warung dan penjual makanan dan
minuman yang hilir mudik. Namun, berbeda dengan pandangan itu, Pelabuhan
Pototano sangat sepi bahkan untuk mencari warung nasi saja kami perlu menyusuri
jalan desa dulu. Bila warung saja sulit ditemukan, maka jangan harap menemukan
penginapan di area sekitar pelabuhan. Lalu di mana kita bisa menemukan
penginapan? Penginapan bisa ditemukan di Alas, sekitar satu jam perjalanan dari
pelabuhan ini.
Sesuai petunjuk seorang kawan di Bali, kami menuju Kantor
Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menanyakan perahu yang akan digunakan menuju
Pulau Kenawa. “wah dek, cuma berdua saja” tanya Bu Arif setelah kami memperkenalkan
diri. Saat itu, Pak Arif yang menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
sedang mengikuti Diklat di Bogor, sehingga istrinya yang menyambut kami.
Untuk menuju ke Pulau Kenawa kita harus menggunakan perahu
yang mampu menampung hingga sepuluh orang. Sehingga mau satu, dua, atau sepuluh
orang kami harus membayar Rp. 350.000,00. Untuk menyiasati biaya tersebut maka
kami berniat menunggu siapa tahu ada pejalan lain yang datang ke Sumbawa dan
berniat pergi ke pulau tersebut. Malang, sampai jam 16.00 wita tidak ada satu
orang juga yang datang. Mau tidak mau kami berangkat dan membayar ongkos perahu
yang tidak ramah bagi kantong dua pejalan minim budget ini. Ibu Arif berbelas
kasih, melihat budget kami sedikit dan tidak ada orang lain untuk berbagi biaya
maka ia menggratiskan biaya sewa dua snorkle.
Jujur, saya suka pergi ke pantai tetapi saya bukan orang
yang rela mati-matian menghabiskan energi, waktu dan biaya untuk pergi ke
tempat jauh dan pulau-pulau terpencil untuk snorkling atau diving demi melihat
keindahan bawah laut. Saya lebih suka ke hutan dan gunung atau pergi ke desa
untuk mengobrol dengan warga lokal. Setiap pergi ke pantai saya lebih senang
jalan-jalan menyusuri pantai, membaca buku dan melamun bodoh saat mulai bosan.
Begitu juga dengan ajakan ke Pulau Kenawa ini, awalnya saya tidak tertarik
untuk ikut,namun karena perjalan yang jauh akan menggunakan motor maka saya
tertarik. Pulau Kenawa hanya bonus, yang saya sebenarnya nikmati adalah
pengalaman membelah pulau dan melintas dua selat untuk menuju tempat ini
menggunakan motor.
Mantap kawan,ingatanku kembali kesana
ReplyDeletetoppp :)
ReplyDeletecantiiiiknya.....nice shots...musti masuk bucket list untuk next destination...salam kenal ya btw :)..
ReplyDeleteAh nenda disana seru juga ternyata :-) Kapan lalu hanya melihat kenawa dari ketinggian desa mantar yg ada diatas pototano
ReplyDeletecakep banget ya pulau kenawa, sayang waktu pas sailing dari lombok gak sempet singgah ke pulau ini :(
ReplyDelete